Semua dengan kekuasaan yang telah disusun ulang menjadi lebih demokratis dan bisa diwariskan kepada anak cucu kita semua.
"Itu mimpi kami saat usia kami belum tiga puluh tahun!" demikian tutup Budiman Sudjatmiko.
Banyak yang bertanya-tanya, apakah saya menganggap debat dan argumen Dandhy Lakson sebegitu buruknya dan Budiman Sudjatmiko sebegitu terpujinya?Â
Tentu saja tidak, jika teliti membaca, secara tersirat saya juga menunjukkan beberapa kelemahan dalam argumen Mas Bud. Ia mengambil sudut pandang luas dari konsep dan sejarah bangsa. Jika dibandingkan dengan Dandhy yang sangat fokus menyorot sejarah dan budaya Papua, maka bagi orang kebanyakan, argumennya akan lebih mudah dicerna, dan dengan demikian bisa dipahami jika di media sosial Dandhy adalah pemenangnya.Â
Budiman terasa mengawang-awang karena ia bicara di tataran konsep dan implikasinya kepada masa depan. Tidak semua orang bisa menarik logikanya kepada masa depan, sesuatu yang sama sekali belum terjadi. Sementara sejarah yang dibumbui cerita fiksi, ditambahi beberapa ad hominem, seperti yang dilakukan Dandhy Laksono memang lebih dirasakan "nyata" dan gampang untuk ditelusuri kebenarannya di internet.
Siapa pemenang debat ini? Itu tergantung seberapa dalam kita bisa memahami masalah. Beda pemahaman, maka beda pula penilaiannya atas kebenaran argumen masing-masing pendebat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H