Beberapa peninggalan perdagangan masa lalu ditampilkan, lengkap dengan narasi-narasi yang dimunculkan melalui interaksi multimedia. Bagus sekali! Serasa berkunjung ke museum di Kota Tua, Jakarta.
Bahkan saya juga baru tahu sebenarnya terbitnya buku ini adalah sebuah kecelakaan. Max Havelaar disunting dan diterbitkan tanpa sepengetahuan penulisnya.Â
Karena topiknya kontroversial, berupa penindasan rakyat Indonesia yang waktu itu tabu dibicarakan, buku ini kemudian menjadi buah bibir dan mendorong politik etis dan pergerakan pemuda Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
"Seorang politikus yang tidak pernah mengenal Multatuli bisa menjadi politikus kejam. Pertama karena dia tidak kenal sejarah Indonesia dan kedua karena dia tidak mengenal humanisme modern," Ya, Multatuli memang menjadi salah satu inspirasi Pramoedya Ananta Toer dalam menulis.Â
Bedanya Multatuli, sebagai keturunan Belanda agak berjarak dalam menganalisa beratnya kehidupan sebagai pribumi pada masa itu, sementara Pram jauh lebih dekat dan lugas karena menjadi bagian dari kisah-kisahnya sendiri.
Bukan hanya Pram.. Kartini, Bung Karno, Ahmad Soebardjo, adalah sekian banyak dari tokoh di Indonesia yang menjadikan tulisan-tulisan Multatuli sebagai inspirasi dalam berjuang. Museum Multatuli menyajikan fakta-fakta ini. Ada banyak sekali testimonialÂ
Namun effort dari pemerintah daerah untuk merestorasi rumah dinasnya setelah terbengkalai sekian lama patut diberikan pujian. Lebih dipuji lagi dengan isi yang begitu mewah, museum ini tidak memungut bayaran apapun. Apapun
Keluar dari pintu belakang, kami berpindah ke Perpustakaan Saidjah Adinda yang sebenarnya juga bagian cerita dari karya Max Havelaar.