Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Murah-Meriah Mengunjungi Kampung Bu Susi (2)

12 Agustus 2019   01:58 Diperbarui: 12 Agustus 2019   02:00 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terus terang selain nasi tutug oncom, saya tidak melihat ada sesuatu yang unik yang bisa dimakan di Pangandaran. Ikan dan udang yang ditawarkan di sini kurang lebih mirip seperti yang sudah saya makan di Muara Baru. Bedanya di sini langsung dialurkan dari laut dan masak saat itu juga, jadi sedikit lebih fresh.

Pagi-pagi saat terbangun di Pantai Timur Pangandaran, barulah saya menyadari kalau Pangandaran ini surga tersembunyi. Pantai pasir putih, dengan sedikit campuran karang, sehingga keindahannya tetap terlihat alami. Kemudian dari kejauhan tampak perahu nelayan mulai mendekat, pulang.

"Lobster, Aa?" Tanya seorang Ibu. Saya senyum saja, krena yang ia tawarkan adalah udang galah. Bentuknya agak mirip karena udang galah juga kulitnya tebal seperti lobster, dan ujungnya juga ada semacam sirip.

Yang membedakan keduanya hanyalah capitnya, karena sebenarnya rasanya nyaris sama saja. Tapi bagian perut dan kepala lobster tidak bisa dinikmati karena bau busuk. Hanya bagian ekor dan capitnya saja yang bisa dimakan. Sementara udang galah masih bisa diseruput, nyaris seluruh bagian badannya bisa dinikmati, selain kulitnya, tentu saja. Kalau memang cari yang enak, saran saya udang galah saja, karena menurut saya udang jauh lebih manis daripada lobster yang cenderung hambar.

Tak mau bertengkar lama, saya beli saja udang galahnya si Ibu. Seporsi besar ini kira-kira Rp 100an ribuan. Kira-kira di Pasar Ikan Muara Baru dan Muara Karang pun segitu.  Saya tanya di restroan pun harganya kurang lebih segitu. Jadi hitung-hitung beramal.

Hanya saja bagi yang memang ingin menikmati Lobster Pangandaran, bukan udang galah, saya sarankan berhati-hati jangan beli yang dijajakan di trotoar dengan dibalur pasir hitam. Apalagi saat diangkat ternyata tidak ada capitnya. Itu udang, bukan lobster. Kalau butuh gengsi makan lobster demi momen instagrammable, carilah di restoran yang menjual ikan segar. Harganya sama saja seperti lobster di Jakarta, namun biasanya masih segar, atau cari saja di Jakarta. Sama saja kok.

Sambil menikmati mentari mengintip dari ufuk timur, saya makan dan duduk-duduk melanjutkan membaca buku Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Menggelinding 1. Lalu speaker bluetooth saya hidupkan sembari memutar spotify. Sungguh sebuah liburan yang intelek. Hahaha.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
"Sendirian dari Jakarta?" Adalah pertanyaan yang sering saya dengarkan dari warga sekitar. Saya jawab "Iya, main-main aja seharian," 

Saya baru sadar mereka tampaknya belum terbiasa dengan turis lokal backpacker. Padahal beberapa kali saya lihat bule-bule yang pelesir murah meriah lumayan banyak di sini. 

Soalnya beberapa kali saya ditawari ojek, saya selalu menolak dengan halus. Saya lebih pilih berjalan kaki. Wong daerah pantai timur dan barat Pangandaran itu sebenarnya kecil sekali, lebih mirip kompleks perumahan. Dari timur ke baratnya Cuma 200-300 meter. Tentu sebuah pemborosan kalau naik ojek ke mana-mana.

Tapi saya tetap senang Gojek hadir juga di Pangandaran. Artinya kalau malam-malam kelaparan, saya tinggal pesan Gofood. Dan bagusnya saya jadi bisa menelusuri di mana saja tempat makanan yang kira-kira enak dan unik. 

Yang sayangnya kurang dimanfaatkan maksimal oleh pedagang kuliner setempat. Yang tersedia kalau tidak bakso, nasi goreng, ya seafood. Padahal saya berharap sekali ada makanan aneh bin ajaib dari Pangandaran, misalnya Jambal Roti dibikin sandwich kek. Hehehe.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Sebelumnya, saya berkeliling dulu siang hingga sore hari di Cagar Alam dan Budaya Pangandaran. Awal saya masuk, kelihatannya seperti kebun binatang biasa sehingga kegilangan minat. Apalagi tiket masuknya agak tidak wajar untuk ukuran kebun binatang. 

Tapi daripada seharian juga tidak ada yang bisa dinikmati, saya coba saja beli tiketnya dengan duit yang tersisa di kantong. Pas Rp 21 ribu!

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Tapi ternyata saya salah. Hanya bagian depannya saja ada atraksi monyet dan rusa jinak layaknya kebun binatang. Namun kalau kita melangkah lebih jauh, binatang-binatang ini semakin terlihat dilepas liarkan. "Hati-hati kalau bawa tas sebesar itu ya Pak!" Kata petugas mengingatkan. "Lah kenapa?" Saya heran. "Itu kalau salah-salah nanti disangka pembawa makanan, bisa dikerubuti dan dikeroyok monyetnya." Jawabnya sambil tertawa.

Mas-mas petugas mengajarkan gesture untuk mengusir monyet-monyet tersebut. "Angkat tangannya begini," Katanya sambil menunjukkan sikap seperti orang menyerah, tapi diangkatnya sebatas bahu. "Itu bahasa buat ke monyetnya kalau ga ada makanan?" Tanya saya. "Iya, monyetnya akan ngerti kalau tidak ada makanan dan pergi."

Saya coba beberapa kali tips ini tiap kali ada monyet agresif yang berusaha mendekati sambil menatap tas yang saya bawa. Sukses.. mereka langsung melengos dan pergi begitu saja dengan muka kecewa.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Terus melanjutkan ke dalam hutan, saya menemukan beberapa gua dan peninggalan kerajaan Pangandaraan dari masa lalu. Pengelolaannya cukup profesional, selalu ada setidaknya satu petugas untuk setiap situs. 

Jadi walaupun hutannya cukup luas, merekrut guide tidak terlalu penting. Tapi buat yang butuh mendengarkan cerita, boleh saja menyewa dengan harga sangat murah. Tapi saya membuktikan bisa kok kita jalan sendirian sampe ujung hutan ini tanpa tersesat atau diganggu binatang.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Semakin ke dalam, semakin banyak gua-gua pendek yang bisa kita nikmati. Sebelnya, di setiap gua selalu ada kuburan. Sehingga agak ngeri juga harus bergelap-gelap berjalan menembus gua terssebut. "Ya memang di sini beberapa kali jadi tempat syuting film mistis atau acara uji nyali," kata seorang petugas di mulut Gua Panggung yang ada kuburan Ki Jaga Lautnya. Begitu juga gua-gua yang lain.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Yang paling membahagiakan ya saat mencapai ujung cagar ini. Selain sudah capek sekali, saya senang bisa bertemu juga dengan pemandian Cirengganis. 

Konon ini adalah tempat pemandian keluarga kerajaan di masa lalu, "Ini bukan sekedar legenda. Dulu sempat ada mahasiswa meneliti di sini. Secara sains, berdasarkan penelitiannya, air di pemandian ini mengandung sulfur sehingga membantu mengencangkan kulit." Tambah si Bapak Penjaga lagi.

Saya coba cuci muka di situ. Memang sejuk sih dan setelah kering memang kulit terasa tertarik sehingga menimbulkan perasaan kencang. Tapi untuk bisa dibilang bikin awet muda kok saya susah percaya haha.

"Terima kasih, Pak." Salam saya kepada bapak yang menjaga di pemandian tersebut. "Maaf duit saya habis ga bisa nyumbang duit kebersihan," Seru saya sambil menunduk. "Oh ga apa apa. Itu seikhlasnya saja," katanya sambil tersenyum. 

Benar-benar menyenangkan. Tidak seperti di tempat lain yang seringkali kita para turis seperti ditodong kotak-kotak sumbangan di mana-mana.

Keluar dari hutan Cagar Alam dan Budaya Pangandaran, saya mulai merasa lapar lagi setelah tadi pagi hanya makan Kupat Tahu. Terus terang Kupat Tahu di Pangandaran punya sedikit kekhasan. Tahunya renyah dan ringan, seperti tahu sumedang, selain itu menggorengnya agak lama sehingga lebih garing dibanding kupat tahu yang biasa saya makan.

Tapi ya kupat tahu tentunya tidak cukup. Maka saya mencari tempat makan yang lebih berat. Nasi plus ikan bakar. Dan bertemulah saya Rumah Makan Bahari 2 di sebelah ca

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Lepas dari menyantap ikan kerapu di Rumah Makan Bahari 2, kepala saya berat. Terang saja karena malam sebelumnya tidak tidur sama sekali, jam biologis saya jadi kacau. Baru senja hari badan sudah loyo, minta disentuh seprei.

Saya tanyakan beberapa hotel di Pangandaran, tidak ketemu juga yang murah. "Antara 400-500 di daerah sini, mas!" Buset. Padahal saya berharap bisa mengeluarkan 100-200 ribu saja. 

Memang ada kost-kostan disewakan di rumah warga, tapi walaupun murah, harus diseewa bulanan atau setidaknya beberapa hari. Sehingga jatuhnya ya mahal juga. Saya kan Cuma berminat menginap semalam saja.

Tapi setelah coba-coba aplikasi Traveloka, saya bertemu Yokima Beach Hotel. Memang beberapa kali saya sudah melewati hotel ini. Bentuknya hanya rumah besar dengan beberapa kamar. Tapi bagaimanapun lokasinya strategis dan cukup menarik hati saya, walaupun belum sempat mencari tahu sendiri harganya sedari kemarin.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Ternyata benar saja, sewanya murah sekali. Harga kamar dengan ranjang ukuran double cuma Rp 187 ribu rupiah. Tapi tentu saja memesannya harus lewat Traveloka.

Dan saya pun tertidur pulas sampai takbir pagi Idul Adha menjelang...

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Lanjut cerita siang harinya, saat sudah harus check out, saya pun menyempatkan diri berbelanja oleh-oleh. Ternyata untuk beberapa jenis kain, terutama yang bermotif pangandaran, cukup murah. Kain pantai dan celana pendek bisa ditawar hingga Rp 30-35 ribu tiap potongnya, Lumayan, hanya sekitar Rp 200 ribu, saya bisa membuat giveaway oleh-oleh Pangandaran di media sosial. Lalu dua stel pakaian anak-anak untuk anak yang menunggu di rumah.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Setelah beres belanja, saya bertemu becak motor. Saya lebih menyenangi becak jenis ini karena tidak menguras tenaga pengemudinya. Lumayan bisa jalan-jalan diterpa angin sejuk ke terminal, walaupun ongkosnya agak mahal dibanding gojek, yaitu Rp 30 ribu rupiah. 

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Sesampainya di terminal, saya bersiap pindah ke kota selanjutnya. Masih lewat jalur pantai selatan Jawa. "Lima puluh ribu saja, Pak!" kata kondekturnya. 

Ke mana? Ditunggu saja serial perjalanan darat saya selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun