Lupa, itulah yang mengantarkan saya ke Desa Pangauban. Ceritanya ada salah satu relawan yang protes kepada saya kalau tahun lalu saya pernah menjanjikan akan mengirimkan buku ke tempat ia melakukan KKN. “Di mana emang alamatnya, soalnya HP saya yang lama sudah hilang.” Saya bertanya. Ia hanya memberikan alamat tak jelas yang sangat membingungkan, “Cari saja perpus tempat KKN saya di Dusun Dua, Desa Girimulya.” Demikian jawabnya.
Karena tentu saja saya berkomitman, hanya saja terhalangi rasa lupa sebagai manusia, maka saya tetap berusaha mencari dusun dan desa tersebut.
“Sampai sekarang pun mereka ga bisa menunjukkan nilepnya bro.” Jawab saya. “Lagi apa juga sik yang mau ditilep dari uang Rp 60 ribu. Hahah. Cuma selisih salah hitung dari rekap transfer masuk saja. Kalau uangnya ya sudah dijadikan ratusan porsi makanan. Apa juga yang bisa dibeli dengan uang Rp 60 ribu sampai saya dibilang hidup dari nilep duit donasi hahaha.” Mauludi terangguk-angguk. Setelah ngalor ngidul sekitar 3 jam, Ia kemudian pamit saat matahari mulai naik ke atas kepala.
Begitu Tommy bangun dan mandi, saya pun beberes untuk checkout. Kami jalan sedikit ke arah selatan untuk makan di warung Bu Diah, di depan Dago Heritage dan Swis Belhotel. Tampak warung ini ramai sekali. “Ini pasti karyawan-karyawan di tempat golf dan hotel yang makan di sini,” kata Tommy. Benar saja, dari beberapa pelanggan yang masuk setelah kami, semuanya berpakaian rapi ala petugas hotel, dengan penampilan menarik.
Tommy sangat menikmati makanan sunda di Warung Bu Diah ini. Lagipula makan di sini juga murah meriah. Tidak sampai Rp 27 ribu total makanan berdua yang kami pesan, padahal lauk dan sayurannya lengkap.
“Enak, kenyang, murah lagi, hehehe,” Komentar Tommy. “Gue juga udah lama ga makan makanan sunda, Tom,” sambil mengingat kembali kenangan sekitar 17 tahun lalu bersekolah di Bandung. Dulu saya sering menyusuri jalanan Dago hingga sekolah di sekitar Jalan Kalimantan, belakang Bandung Indah Plaza. Makan di warung Bu Diah membongkar kembali kenangan itu melalui lidah.
Menjelang sore, setelah main-main sebentar ke Mono Cafe yang punya konsep unik sama sekali bebas plastik karena digarap oleh kelompok Greeneration, kami berangkat ke Desa Girimulya yang dipesankan. Karena buta sama sekali daerah Kabupaten Bandung di bagian selatan, sekitaran Universitas Telkom, maka kami memutuskan naik taksi saja. Sekalian supaya bisa tidur karena malam sebelumnya saya tidak terlalu nyenyak tidur di kereta.
Celakanya, karena tidur, taksi pun berjalan entah ke mana, hanya berusaha mengikuti petunjuk Google Map mengenai posisi Desa Girimulya. Maka terdamparlah kami di antah berantah. Sementara ditanyakan kepada warga setempat pun mereka tidak terlalu mengerti di mana itu Dusun Dua. “Adanya Situdua, Pak!” masih 5 kilometer lagi dari sini.
Mengingat taksinya menggunakan mobil pendek seperti Mobilio, saya agak khawatir apakah bisa melibas jalanan dusun. Tapi ajaib, ternyata mayoritas jalanan di desa sudah dicor, hanya beberapa ruas yang masih terlihat berlubang. Tapi sisanya dengan mudah dilahap taksi yang mengantarkan kami.
Tapi ya sudah, kami memang terdampar begitu saja tanpa punya petunjuk apapun di mana itu Dusun Dua Desa Girimulya, hahaha. Di tengah dinginnya udara desa, kami memesan kopi di warung Bu Rodiyah. Iseng saya bilang ke Tommy “Kayanya asik kalau kita beli tanah sepetak di sini terus bikin villa kecil-kecilan Tom.” Bu Rodiyah menimpali, “Oh ya ada, bisa saya carikan tanahnya. Murah kalau tanah di sini mah..” katanya berusaha meyakinkan.
Ia malah berbaik hati mengajak kami berkeliling memperkenalkan berbagai proses pengeringan dan pengolahan kopi. Ada bak pencucian dan fermentasi untuk kopi jenis semi washed, ada penjemuran khusus untuk kopi jenis honey dan natural yang tanpa melewati proses pencucian atau fermentasi, kemudian hasil akhirnya dijemur lagi sampai kopi benar-benar kering dan siap dijual.
Kopi Puntang sendiri sering meraih penghargaan di dunia kopi, sehingga termasuk yang bergengsi. Terakhir, kopi ini meraih specialty Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat, 14-17 April 2016.
Puas melihat-lihat penjemuran kopi di Klasik Coffe, kami pun berpamitan pulang, kembali ke Kota Bandung, berikutnya kami harus ke Jakarta karena jatah waktu dan biaya kami hanya cukup untuk sehari kunjungan saja. Hitung-hitung, hanya Rp 500an ribu habis selama seharian penuh. Itu pun lebih karena memesan taksi yang cukup jauh dari Dago Pakar ke Pangauban.
“Jadi kita naik apa Tom?” Tanya saya setelah di sekitar Buah Batu tidak ketemu travel yang bisa mengantarkan ke Jakarta. Ia mengusulkan naik Bus Primajasa saja. Sehingga akhirnya kami pun naik angkot ke Leuwi Panjang. Lumayan, ternyata dengan kondisi kursi yang sangat nyaman, dan harga tiket sekitaran 60-80 ribuan, kami sudah bisa turun di tujuan di Jakarta Timur hanya dalam waktu sekitar 3,5 jam saja. Berarti busnya cukup ngebut, pikir saya.
Terima kasih Bandung yang selalu punya kejutan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H