Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Belajar Pemrosesan Kopi ke Desa Pangauban

9 Agustus 2019   01:39 Diperbarui: 12 Agustus 2019   20:41 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lupa, itulah yang mengantarkan saya ke Desa Pangauban. Ceritanya ada salah satu relawan yang protes kepada saya kalau tahun lalu saya pernah menjanjikan akan mengirimkan buku ke tempat ia melakukan KKN. “Di mana emang alamatnya, soalnya HP saya yang lama sudah hilang.” Saya bertanya. Ia hanya memberikan alamat tak jelas yang sangat membingungkan, “Cari saja perpus tempat KKN saya di Dusun Dua, Desa Girimulya.” Demikian jawabnya.

Karena tentu saja saya berkomitman, hanya saja terhalangi rasa lupa sebagai manusia, maka saya tetap berusaha mencari dusun dan desa tersebut.

Dokpri
Dokpri
Kebetulan, di saat yang sama saya sedang backpacking bersama Tommy Bernadus. Malamnya kami menginap di Airy Hotel Arcadia. Lokasi hotel ini strategis dan indah sekali karena berada di posisi paling puncak dari Dago. Jadi kita bisa melihat dengan leluasa ke arah bawah, Kota Bandung. Pemandangan yang indah sekali.

Dokpri
Dokpri
Pagi sekali, saat Tommy tertidur lelap. Saya mencicipi sarapan Baso Meteor Kang Dody. Jujur dari rasanya sih so-so saja, seperti kebanyakan baso. Tapi karena suasana dingin dan pemandangan indah dari kejauhan, semangkok baso ini rasanya benar-benar membuat puas.
Dokpri
Dokpri
Sambil menghabiskan waktu di minimarket setempat, saya kopdar dengan Mauludi Rahman, yang nama akunnya @maolodee. Kami bicara banyak hal, mulai dari isu twitwar terkini, sampai berbagai tuduhan saya menggelapkan uang donasi. Tentu saja saya geli mendengar tudingan-tudingan anonim pengecut tersebut.

“Sampai sekarang pun mereka ga bisa menunjukkan nilepnya bro.” Jawab saya. “Lagi apa juga sik yang mau ditilep dari uang Rp 60 ribu. Hahah. Cuma selisih salah hitung dari rekap transfer masuk saja. Kalau uangnya ya sudah dijadikan ratusan porsi makanan. Apa juga yang bisa dibeli dengan uang Rp 60 ribu sampai saya dibilang hidup dari nilep duit donasi hahaha.” Mauludi terangguk-angguk. Setelah ngalor ngidul sekitar 3 jam, Ia kemudian pamit saat matahari mulai naik ke atas kepala.

Begitu Tommy bangun dan mandi, saya pun beberes untuk checkout. Kami jalan sedikit ke arah selatan untuk makan di warung Bu Diah, di depan Dago Heritage dan Swis Belhotel. Tampak warung ini ramai sekali. “Ini pasti karyawan-karyawan di tempat golf dan hotel yang makan di sini,” kata Tommy. Benar saja, dari beberapa pelanggan yang masuk setelah kami, semuanya berpakaian rapi ala petugas hotel, dengan penampilan menarik.

Tommy sangat menikmati makanan sunda di Warung Bu Diah ini. Lagipula makan di sini juga murah meriah. Tidak sampai Rp 27 ribu total makanan berdua yang kami pesan, padahal lauk dan sayurannya lengkap.

“Enak, kenyang, murah lagi, hehehe,” Komentar Tommy. “Gue juga udah lama ga makan makanan sunda, Tom,” sambil mengingat kembali kenangan sekitar 17 tahun lalu bersekolah di Bandung. Dulu saya sering menyusuri jalanan Dago hingga sekolah di sekitar Jalan Kalimantan, belakang Bandung Indah Plaza. Makan di warung Bu Diah membongkar kembali kenangan itu melalui lidah.

Menjelang sore, setelah main-main sebentar ke Mono Cafe yang punya konsep unik sama sekali bebas plastik karena digarap oleh kelompok Greeneration, kami berangkat ke Desa Girimulya yang dipesankan. Karena buta sama sekali daerah Kabupaten Bandung di bagian selatan, sekitaran Universitas Telkom, maka kami memutuskan naik taksi saja. Sekalian supaya bisa tidur karena malam sebelumnya saya tidak terlalu nyenyak tidur di kereta.

Celakanya, karena tidur, taksi pun berjalan entah ke mana, hanya berusaha mengikuti petunjuk Google Map mengenai posisi Desa Girimulya.  Maka terdamparlah kami di antah berantah. Sementara ditanyakan kepada warga setempat pun mereka tidak terlalu mengerti di mana itu Dusun Dua. “Adanya Situdua, Pak!” masih 5 kilometer lagi dari sini.

Mengingat taksinya menggunakan mobil pendek seperti Mobilio, saya agak khawatir apakah bisa melibas jalanan dusun. Tapi ajaib, ternyata mayoritas jalanan di desa sudah dicor, hanya beberapa ruas yang masih terlihat berlubang. Tapi sisanya dengan mudah dilahap taksi yang mengantarkan kami.

Tapi ya sudah, kami memang terdampar begitu saja tanpa punya petunjuk apapun di mana itu Dusun Dua Desa Girimulya, hahaha. Di tengah dinginnya udara desa, kami memesan kopi di warung Bu Rodiyah. Iseng saya bilang ke Tommy “Kayanya asik kalau kita beli tanah sepetak di sini terus bikin villa kecil-kecilan Tom.” Bu Rodiyah menimpali, “Oh ya ada, bisa saya carikan tanahnya. Murah kalau tanah di sini mah..” katanya berusaha meyakinkan.

Dokpri
Dokpri
Beberapa jam menghabiskan waktu tanpa ketemu Taman Baca yang dimaksud, kami pun berpamitan pulang. “Kalau masih kepengen jalan-jalan, coba lihat pabrik kopi di sana.” Kata Bu Rodiyah menunjuk ke arah lereng bukit di ujung jalan. “Siap Bu, sambil pulang nanti kita singgah ke sana.”

Dokpri
Dokpri
Sesampai di pabrik kopi yang dimaksud, nyaris tak ada plang nama. Namun dari Google Maps, tertulis namanya Klasik Beans. Tiga ekor anjing tegap dan besar menyambut. Saya pikir pemiliknya angker. Tapi ternyata, penjaganya yang menyusul kemudian menyambut kami dengan ramah. “Boleh, kalau keliling-keliling saja tentu saja boleh.” 

Ia malah berbaik hati mengajak kami berkeliling memperkenalkan berbagai proses pengeringan dan pengolahan kopi. Ada bak pencucian dan fermentasi untuk kopi jenis semi washed, ada penjemuran khusus untuk kopi jenis honey dan natural yang tanpa melewati proses pencucian atau fermentasi, kemudian hasil akhirnya dijemur lagi sampai kopi benar-benar kering dan siap dijual.

Dokpri
Dokpri
“Boleh ga saya beli beberapa ratus gram saja buat sampel?” Saya berusaha membujuknya. Namun permintaan tersebut ditolak karena memang ini adalah pabrik yang sudah punya penampungnya sendiri. Jadi mereka tentu tidak menerima pembelian eceran. “Ke kota saja, pusat kopi, cari kopi Puntang. Itu dari sini,” Jawabnya. Memang Kopi Puntang didefinisikan sebagai kopi dari daerah sekitaran Gunung Puntang., dan Desa Pangauban memang hitungannya masih ada di kaki Gunung Puntang.  

Kopi Puntang sendiri sering meraih penghargaan di dunia kopi, sehingga termasuk yang bergengsi. Terakhir, kopi ini meraih specialty Coffee Association of America Expo di Atlanta, Amerika Serikat, 14-17 April 2016.

Puas melihat-lihat penjemuran kopi di Klasik Coffe, kami pun berpamitan pulang, kembali ke Kota Bandung, berikutnya kami harus ke Jakarta karena jatah waktu dan biaya kami hanya cukup untuk sehari kunjungan saja. Hitung-hitung, hanya Rp 500an ribu habis selama seharian penuh. Itu pun lebih karena memesan taksi yang cukup jauh dari Dago Pakar ke Pangauban.

“Jadi kita naik apa Tom?” Tanya saya setelah di sekitar Buah Batu tidak ketemu travel yang bisa mengantarkan ke Jakarta. Ia mengusulkan naik Bus Primajasa saja. Sehingga akhirnya kami pun naik angkot ke Leuwi Panjang. Lumayan, ternyata dengan kondisi kursi yang sangat nyaman, dan harga tiket sekitaran 60-80 ribuan, kami sudah bisa turun di tujuan di Jakarta Timur hanya dalam waktu sekitar 3,5 jam saja. Berarti busnya cukup ngebut, pikir saya.

Dokpri
Dokpri
Alhamdulillah, bolak balik Jakarta dalam dua hari, ditambah sesat di Desa Pangauban, membuat saya mengalami pengalaman yang luar biasa dan baru,

Terima kasih Bandung yang selalu punya kejutan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun