Pulang, saya borong berapapun kopi yang masih mereka miliki di akhir musim panen kopi ini. Karena biasanya selama hujan tanaman kopi akan mogok berbuah, harus ditunggui lagi memasuki musim kemarau berikutnya. Ada pun berbuah, hasilnya tak akan maksimal. Kecil dan cenderung makin asam mengarah ke kecut karena matangnya kurang sempurna. Biji kopi seperti ini nyaris tak ada harganya karena diroasting pun tak akan matang-matang.
Malam menjelang, udara makin dingin, maka saya memutuskan untuk pulang. Saya iseng bertanya, nanti 2019 pilih siapa? Mereka mesem-mesem, "Belum ada pak, rahasia. hahaha." Jawab Pak Wawan. Tentu saya tidak bisa memaksakan pilihan kalau jawabannya seperti itu. Namun saya tanyakan keluhan mereka dalam mengelola Hutan Sosial, jawabannya simpel saja, pupuk.
 "Kalau Bapak bisa carikan 2 ton pupuk di sini pasti semua akan senang. Kita akan dukung program hutan sosial ini." Jawab Pak Wawan memberi isyarat. Tentu saya sendiri tidak berniat "membeli" dukungan mereka. Lagian Pak Wawan kan memang PNS. Sudah sepantasnya ia bersikap netral dan mengayomi seluruh petani yang ia bina.Â
Saya hanya bisa berkata bahwa saya usahakan cari sebisanya. Namun pupuk NPK yang diminta berharga Rp 20 ribu sekilonya. Kalau 2 ton tentunya butuh sekitar Rp 20 juta. Tak mudah mewujudkan permintaan itu, karena itu saya langsung berikan disclaimer bahwa saya belum menjanjikan apa-apa, tapi apapun yang bisa saya bantu akan saya bantu.
Pulang dari puncak gunung bersama Pak Yoyo, ia menawarkan kerjasama menggarap hutan sosial ini. Ia yang akan menggarapkan, saya berinvestasi membelikan peralatan, pupuk, benih, dan sebagainya. Bentuk bagi hasil yang tidak memberatkan petani dan sama-sama dinikmati hasilnya. Ia juga bertanya apakah boleh dicarikan labu yang cukup bagus dan hasilnya dibawakan ke Jakarta untuk ditawarkan ke supermarket dan minimarket, bahkan ke pasar-pasar?
Memang luar biasa hutan sosial ini, memberikan semangat kembali kepada petani yang sedari dulu lesu karena semakin terdesak kepentingan orang berduit yang ujungnya mengkonversi lahan pertanian sehingga semakin dan semakin sempit.
Yang diperlukan sekarang hanyalah dukungan. Entah dalam bentuk pupuk, bibit, peralatan, otomatisasi, dan sebagainya. Maka sambil membayangkan semua itu terwujud, sambil menyetir saya memperhatikan kembali foto sunset di Desa Cinta. Spesial sekali sunset di sini. Tampaknya karena di gunung, cahayanya jadi lebih spesial, agak pink keunguan, cocok sekali dengan nama desanya, Desa Cinta.
Ternyata masih ada cinta di dalam secangkir kopi. Cinta seorang pemimpin kepada rakyatnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H