Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ada Cinta di Secangkir Kopi

2 Oktober 2018   15:20 Diperbarui: 2 Oktober 2018   15:27 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada Cinta di Secangkir Kopi

Lepas dari pasar, saya naik ke gunung yang belum banyak dikenal ini. Tak tampak ada kantor RW, RT atau kelurahan saat naik. Bahkan warung kopi untuk rehat sebentar dan ngobrol juga nyaris tak ada. Adanya cuma rumah, warung kebutuhan sehari-hari, kebun, dan masjid.

Dan yang lebih aneh, tak secuil pun saya lihat kebun kopi. Adanya sawah, sawah dan sawah. Hahaha. Menyesal juga rasanya mempercayai petani di bawah tadi. Tapi sudah kepalang tanggung, sebentar lagi Magrib, dan kalau pulang sekarang pun tak akan terkejar lagi ke Jakarta. Paling juga sampai tengah malam dan saya juga tidak bisa mengejar deadline apapun.

Seperti juga di jalur tengah Takengon, Aceh, saya melamun panjang, mengikuti saja jalur sempit selebar satu mobil hingga ke arah puncak gunung. Sampai akhirnya kelihatan papan petunjuk arah. Ada berbagai nama desa yang tertulis di situ, tapi yang kelihatan jelas dan membuat mata saya terhenti, adalah satu nama desa, Desa Cinta.

Dan seperti biasanya, insting saya mengatakan saya harus terus bersabar naik terus ke atas tanpa henti, walaupun beton jalananya mulai banyak yang ambrol, tanda saya akan segera masuk daerah terpencil di tengah gunung. Tapi luar biasanya, sinyal di sini masih saja 4G. Masih sempat saya mencari dan menyimpan posisinya di Google Map.

Dan betul, insting itu mengantarkan saya kepada seorang Kakek bernama Pak Yoyo. Agak bungkuk dan ringkih, ia membawa tanaman kecil yang samar-samar mengingatkan polybag yang dulu sering dibawa orangtua saat mulai belajar berladang di Sumatera.

"Itu pohon apaan Pak?" tanya Saya sambil membuka jendela pintu kiri mobil/ Dan yak, benar, ia lalu menjawab, "Ini teh Kopi... Buat ditanam di sana." katanya menunjuk lagi terus ke arah atas. Luar biasa Pak Yoyo, dengan umur segitu tua, masih bahagia membawa tanaman itu ke puncak gunung. "Bapak petani kopi?" Ia menjawab dengan anggukan mantap tanpa ragu.

"Wah kebetulan Pak, saya beli kopinya boleh tidak?" Ia bengong. Mobil LCGC yang harusnya tak kuat naik gunung, datang jauh-jauh cuma untuk beli kopi. "Ya boleh, nanti saya antarkan ke atas. Ada penjualnya."

Saya awalnya menolak berhubungan dengan pengepul atau tengkulak. Karena masih ingin terus membeli langsung dari petani. Namun Pak Yoyo terus memaksa saya ke atas. Sampailah kami di rumah Pak Wawan, yang ternyata juga sesama petani. Bedanya ia juga mengabdi sebagai PNS. Sambil melayani masyarakat, ia juga mengelola kebun kopi, dan aktif membina petani sekitar. Luar biasa...

"Alhamdulillah, kami mengelola tanaman kopi di hutan di sekitar," Saya tertarik. Tampaknya yang dimaksud oleh Pak Wawan ini adalah hutan sosial yang kebijakannya diluncurkan sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo. 

Dan saat saya mengkonfirmasi, ia dan istrinya mengangguk. Ternyata warga, dengan kearifan lokalnya, diberi kesempatan mengelola hutan di sekitar untuk ditanami kopi, labu, dan tanaman lainnya, berdampingan dengan pepohonan lebat di puncak Gunung, di sekitar Desa Cinta. Tentu dengan tidak merusak hutan tersebut.

Soal hasilnya? "Alhamdulillah, lahan saya 4 hektar bisa hasikan 4 ton. Pak Yoyoy kelola sekitar 2 hektar, jadi bisa dapat 2 ton kopi. Banyak sekali, saya tidak yakin. Tapi asumsikan saja dulu benar. Maka kalau kita ikuti rata-rata harga green bean di Jakarta yang sampai di atas Rp 100 ribuan lebih per kg nya, harusnya mereka ini kaya raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun