Itulah sebab kenapa harusnya jalan lintas, terutama yang tengah dan barat, harus dipelihara supaya mulus terus. Supaya bisa ngebut. Kalau bisa ada jalan tol juga. "Ya kalau ada jalan tol, mana ada lagi orang berani jadi bajing loncat? Loncat dari mana?Â
Terus loncat ketabrak mobil 100 km/jam, mau jadi apa itu badan?" kata Pak Felix, bukan nama sebenarnya, di Sumatera Selatan, terkekeh-kekeh bangga bahwa sebentar lagi tol Jokowi, eh Tol Sumatera akan melintasi belakang rumahnya.
Di tegah perjalanan antara Sungai Penuh, Jambi ke Tapan, Sumatera Barat, atau dari Kepahiyang ke Empat Lawang, yang disebut-sebut rawan, saya menyengajakan diri istirahat sebentar di tengah rimbunnya hutan, dini hari.
Nyatanya tidak ada yang mengganggu. Ini bukti bahwa jalan yang mulai mulus (kecuali menjelang Tapan memang banyak sekali yang longsor dan amblas karena tergenang air dari gunung) mengurangi secara signifikan tindak kriminalitas.
Itulah pentingnya infrastruktur.
Omong demi omong. Jadi apakah benar kalau kita mau membeli produk petani, kita bisa membantu mereka? Tentu! Sembari mengajari mereka dengan sabar untuk terus meningkatkan kualitas produknya. Jangan dimanja untuk terus-terusan diambil dengan kualitas yang tidak bisa dijaga konsisten. Itu tentu buruk bagi mentalitas petani.
Sebaliknya, saat kita mengambil produk mereka dengan harga wajar di atas harga tengkulak, bukan main kebahagiaan dan motivasi yang dimiliki petani. Semakin sering produknya dibeli, semakin mengerti dia arti standar kopi yang baik.
Ini terbukti di Takengon, daerah kampung kedua Pak Jokowi. Kopi di sini beda dengan Kopi Gayo kebanyakan. Karena ruangannya lebih terbuka dan letaknya tidak terlalu tinggi di sekitar Danau Lot Tawar, maka kopi bisa dijemur lebih lama dan kering.Â
Tingkat keasamannya jadi berkurang, sehingga kopi takengon gayo yang saya bawa dari sini mendapat pujian tiap kali saya bawa ke kafe-kafe di Jakarta. Baunya wangi seperti gula aren namun rasanya tidak terlalu keras.