"Saya ga akan pilih Jokowi tahun ini, soalnya harga-harga pada turun sejak dia jadi presiden!" Demikian teriak salah seorang petani dan pedagang produk pertanian di Ketapang, Banyuwangi. Sebut saja namanya Bapak Mamat.
Pak Mamat mengundang rasa penasaran saya, "Kenapa bisa turun, Pak? Sebabnya apa?". "Ya itu.. kemarau panjang. Cabe aja sekarang jadi murah, turun harganya. Pokoknya ganti saja presidennya. Terserah mau siapa."
Ya, jadi Presiden di Indonesia sungguh berat, cuaca pun jadi beban kesalahan yang harus dipikul. Entah kita ini sebenarnya tiap lima tahun sekali memilih kepala negara apa pawang hujan.
"Kenapa bisa gitu Bang?" tanya saya. "Ya karena harganya ditentukan tengkulak. Mereka sudah punya list sendiri. Tapi ini jangan sampai direkam ya." Takut sekali tampaknya seolah ini adalah sebuah mafia kejahatan besar.Â
Tapi ya kalau dari standar moral saya sih, praktik mencekik ini sebenarnya memang jahat. "Tapi enaknya dengan tengkulak itu, kita tidak perlu terjerat utang dan riba," lanjutnya. "Lah kok bisa? Emang abang dikasih apa?"
"Ya dikasih bibit, pakan, obat, dan yang kita perlukan. Tidak usah bayar. Jadi tidak utang, tidak riba." jawabnya yakin. Lalu saya tanyakan berapa harga kebutuhan yang diberikan oleh tengkulak-tengkulak itu. Saya cek di Google. "Wah.. itu mah 50%nya lebih besar Bang!". Lalu saya iseng bertanya bertanya harga udang yang ditetapkan di pasar. Jawabannya lucu, lebih rendah dari pasar. Saya hitung 50 persen juga.
Dari sanalah kenapa pekerjaan bertani tambak udang miliknya jadi lebih sulit, hanya tersisa Rp 9 juta sekali panen dalam 3 bulan.
"Harusnya berapa kalau Abang modal sendiri semua?"
"Rp 50 juta lah kira-kira kotor."
Oke kita tidak usah hitung terlalu rumit. Percayai saja informasi harga yang dia berikan. 50 persen lebih tinggi untuk modal tambak, lalu 50 persen lebih rendah saat menjual. Si tengkulak menjeratnya dengan hutang berbunga 100 persen dalam 3 bulan.