Selelesai nakanak kumpulkan sampah, giliran bukibuk dan pakbapaknya diajarkan manajemen sampah di pengungsian. Sulit untuk menemukan pemulung atau petugas kebersihan yang mau repot-repot bersihkan sampah. Terakhir saya lewat di salah satu pengungsian yang sudah ditinggal, terlihat gunungan sampah yang luar biasa.
Di mobil masih tersisa tempe, ragi fermipan, nasi hangat, keranjang cucian, dan kotak kardus di mana-mana. Perfect! Kita ajarkan mereka kotak takakura. Tentu ga bisa sempurna karena bahan terbatas. Tapi lumayanlah.
Silakan cari seperti apa cara membuat kotak takakura. Yang sulit dicari cuma sekam, jadi saya ganti dengan pasir saja. Lalu starternya pakai nasi hangat, tempe, gula pasir, fermipan, tepung, diaduk jadi satu. Jadilah adonan roti yang harum. Dalam sekejap ragi dan kapang terbentuk.
Agak sulit meyakinkan mereka membuat kotak takakura. Awalnya saya ditertawakan, karena dipikir mau bikin adonan roti atau donat. "Lah bikin roti kok dicampur nasi dan tempe!" begitu seruan mereka sambil ketawa-ketawa.
Saya coba tarik remaja perempuan yang pikirannya masih terbuka. Sambil mengajarkan mitigasi gempa, diajarkan cara membuat kotak takakura. Satu orang bernama Jannah, anak Bu Murni, kuliah di Teknik. Ia cukup mengerti dan bisa ikut meyakinkan teman-temannya yang lain.
"Lah untuk apa Bu?" tanya saya.
"Di mana poskonya pak?" Tanya salah satu pakbapak sana terheran-heran karena saya membuat banyak sekali bantuan dalam satu waktu. Hanya sehari selama Idul Adha, dan sendirian, saya bisa mengorganize bukibuk dan nak anak menyediakan 300 porsi makanan, membersihkan sampah di pengungsian, dan megedukasi dengan mitigasi gempa. "Ya di mobil, Pak. itu posko saya," mereka terkekeh-kekeh, mungkin tak percaya, dengan jawaban saya.