Saat memulai tur #1000kmJKW, berbagai kecaman yang menurut saya dibuat-buat, mendera, "Norak banget sih tol dinamai tol Jokowi segala. Ga begitu caranya mendukung Jokowi, dasar Hariadhi Norak!"Â
Lah ya padahal penamaan Tol Sumatera menjadi tol Jokowi itu bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Ia ada karena memang warga sekitar merasa terharu dan senang Jokowi sudah berbuat banyak untuk tanah Sumatera yang selama ini dicuekin, tambangnya dihisap, buah dan sayurannya diambil untuk kepentingan konsumsi Jawa, pajaknya disalurkan ke pusat, tapi giliran pembangunan, dianaktirikan.
"Jadi di mana yang tol Jokowi itu bu?" Saya bertanya di sebuah warung di sekitaran jalan Lampung menuju Palembang. Dengan mantap si Ibu menjawab "Ada nanti sekitar 20 km lagi, jalannya memang masih terputus-putus. Masuk tol beberapa kilometer, lalu nanti diwajibkan keluar. Masuk lagi, lewat lagi beberapa kilometer, lalu keluar lagi . Begitu terus sampai nanti dekat Palembang."
Ya, kalau ditanyai Tol Sumatera, mereka agak kebingungan karena merasa tol itu sebenarnya belum siap dan belum terlalu akrab di telinga. Tapi begitu diingatkan tol Jokowi, alias tol yang dibangun Pakde Jokowi, warga sekitar dengan lancar menunjukkan.Â
Tol Sumatera patut dipuji menjadi Tol Jokowi karena begitu mulus, bahkan lebih mulus dari tol di Jawa, sementara di sana kita mahfum tanahnya rawa-rawa dan bergambut. Tanah tipe ini terkenal paling sulit untuk dibangun infrastruktur. Dulu waktu masih kecil saya pernah membaca majalah mingguan keluaran Caltex (sekarang Chevron) bahwa tanah gambut itu seperti spons yang di dalamnya berisi air.Â
Tanahnya labil sehingga baru diaspla beberapa bulan, bakalan amblas, apalagi setelah dilalui banyak truk bertonase tinggi melebihi kapasitas beban jalan.Â
Di sekitar Zamrud, misalnya, bisa terlihat pipa minyak seolah terangkat melebihi ketinggian mobil. Bukan karena pipanya tumbuh, namun karena lama-kelamaan tanahnya amblas ke bawah setelah dilewati berbagai kendaraan.
Tentu saja teknologi ini bukanlah hasil penjajahan asing aseng, karena di negaranya Aseng berasal, nyaris tidak ada rawa, sementara yang membangun Tol Indralaya ini adalah Kementerian PU dan kontraktornya untuk pengolahan tanah basis tol adalah BUMN Hutama Karya.
Tol Jokowi 100% Indonesia!
Namun begitu besarnya manfaat yang dirasakan oleh inang-inang dan kaum trans di sekitarnya, pasar ini malah dikenal sebagai Pasar Jokowi, walaupun yang meresmikan sebenarnya Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki. Tapi ibu-ibu di sana tetap nyantai memanggil pasar ini pasar Jokowi dan berterima kasih ke Pakde Jokowi.
Ibu Situmorang, dalam salah satu video yang saya rekam dengan jawaban yang lugas dan meyakinkan menyatakan bahwa Pasar Jokowi ada di Desa Sampali, Deli Serdang, di ujung sebuah perkebunan sawit. Ia senang dengan dibukanya pasar Jokowi tersebut, walau memang belum benar-benar lengkap, namun sudah fungsional "Pak Jokowi, kami harap pasar ini segera dibangun (hingga komplit), dan kami mohon bantuan Pak Jokowi (untuk modal dagang), juga semoga segera terbangun tolnya."
Ya, semua mengaitkan nama apapun infrastruktur yang terbangun dengan nama Jokowi. Termasuk salah satu masjid di sekitar sekitar Desa Keude, Tringgadeng, Pidie, Aceh Jaya. Awalnya saya dengar nama masjid Jokowi dari percakapan warga Bireun di warung kopi pagi hari. Sambil ngopi, sembunyi-sembunyi saya nguping pembicaraan mereka mengenai masjid yang dibangun Jokowi di Aceh pasca gempa Pidie.Â
Tidak mudah mencari keberadaan masjid ini karena ada 4 mesjid bernama Masjid At Taqarub di sekitar Aceh bagian utara. Satu di Bireun, setelah Desa Sawang, satu di Lhokseumawe, satu di Tringgadeng, satu lagi di tengah gunung di sebelah kandang sapi yang saya capai sekitar pukul 3 pagi! Jalanan di sana sudah tidak berbentuk lagi, ya namanya juga jalanan desa menuju kandang sapi.
Mobil saya sudah selip, tak sanggup bergerak lebih jauh karena jalanannya hanya jalan setapak yang licin dan penuh lumpur. Akhirnya 50 meter menjelang masjid kecil di tengah kumpulan kandang kerbau tersebut, saya putuskan berbalik arah, "Manalah mungkin seorang presiden membangun dan meresmikan masjid seterpencil ini!" pikir saya gusar.Â
Balik ke gerbang masuk desa Keude, saya beranikan diri bertanya kepada bapak-bapak yang berkumpul di warung kopi. Awalnya saya membuang muka karena berpikir mungkin mereka preman sekitar atau mantan pasukan GAM yang masih senang mengganggu pendatang (padahal setelahnya saya bertemu dengan salah satu pasukan GAM yang ternyata ramah sekali dan juga pendukung Jokowi). Setelah beberapa lama diskusi rumit karena saya tidak mengerti logat Aceh, akhirnya saya menyerah, tak sanggup lagi bertanya di mana lokasi Masjid At Taqarub.
"Masjid Jokowi pak.. Masjid Jokowi.. yang dulu dibangun setelah gempa di Pidie!" adalah pertanyaan terakhir saya dengan setengah putus asa.
"Ooooh masjid Jokowi yang itu. Itu di sebelah kantor kecamatan Tringgadeng...!" Lah, ternyata kalau ditanya Masjid Jokowi, beliau dengan fasih menjelaskan, dengan Bahasa Indonesia yang lancar pula. Hahahha, akhirnya saya cari lokasi kantor kecamatan di Google Map dan jadilah berhenti, tidur, dan mandi di situ menjelang pagi. Siaran livenya juga saya post di Facebook supaya teman-teman tahu. Tapi hasilnya saya diejek teman-teman juga, "Suara ngorok kaya back music hahaha. Pasti kecapean!" kata Mba Aoki Vera Kurniawati bercanda. Ya benar juga. Seharian penuh mencari Masjid Jokowi, dari pagi sampai ketemu pagi lagi, melewati berbagai medan offroad pakai mobil kecil LCGC, tentu capenya luar biasa!Â
Tapi yang jelas puaaas! Sudah ketemu Masjid Jokowi...
Ya, orang selalu menyebut Pak Jokowi pernah bekerja di PT Kraft Aceh di Lhokseumawe, tapi kenyataannya beliau tinggal agak jauh ke dalam, di sekitaran Takengon, daerah penghasil kopi Gayo yang tiada duanya!
Tadi saya bisik-bisik, rumah saya yang dulu kok sudah hilang," jelas Jokowi saat meresmikan bandara ini. "Saya tanya ke Pak Menteri, dimana rumah saya? Mohon maaf Pak sudah digusur, untuk perluasan Airport Bandara Rembele. Mestinya kalau mau gusur rumah presiden ya izin, izinnya baru pagi-pagi tadi, pak mohon maaf, rumah bapak sudah kami gusur, mestinya mau gusurkan sebelumnya, saya perbolehkan atau tidak,"
Ada berbagai tempat dan bangunan lainnya di seluruh Nusantara yang dinamai dengan sebutan Jokowi. Tentu bukan karena Jokowi membangunnya pakai duit pribadi, namun karena begitu senangnya masyarakat setempat menyadari bahwa uang pajak mereka diwujudkan dengan pembangunanhal yang tidak mereka sangka-sangka, atau karena perhatian Pakde yang memang cukup besar atas wilayah itu.Â
Contohnya saja di Papua sana, warga dengan senang hati menamai salah satu bukit dengan nama Bukit Jokowi. Letak bukit ini ada di pinggiran kota Jayapura, sekitar 30 menit perjalanan darat, yaitu di sekitar Teluk Youtefa.
Kampung Cipinang di Garut juga berubah nama menjadi Kampung Jokowi. Hal ini lebih kepada kepraktisan untuk membentuk akronim dari Jadikan Olehmu Kebun DAM (Dayeuhmanggung) Objek Wisata Indah. Ini pun terinspirasi dari kesederhanaan dan kecintaan warga kepada Jokowi.
Jadi apa salahnya menamai Tol Jokowi, Kampung Jokowi, Bandara Jokowi, bahkan Masjid Jokowi? Semuanya ada karena memang perhatian besar Pakde Jokowi terhadap daerah yang dibangun tersebut.Â
Jika warga memang sepakat dan menyenangi nama tersebut, apa salahnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H