Mohon tunggu...
Hardy Mynhart
Hardy Mynhart Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Content Kreator

Lahir di Manado, telah menikah dan dikaruniai seorang anak, seorang pekerja keras, mampu memotivasi diri, cepat belajar pada hal-hal yang baru, proaktif dan inisiatif, aktif diberbagai organisasi masyarakat. Pernah bekerja pada beberapa stasiun tv (lokal dan nasional) sebagai seorang produser program TV, designer visual grafis, event organizer. Hobby pada fotografi, blogging, komputer dan desain grafis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Implementasi Program Televisi Digital Dalam Meningkatkan Kualitas Siaran

3 Juli 2015   06:38 Diperbarui: 3 Juli 2015   08:23 1346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Digitalisasi penyiaran adalah tuntutan dinamika teknologi yang menjadi keniscayaan untuk diterapkan. Apalagi adopsi teknologi penyiaran digital bisa mengantarkan lebih banyak informasi kepada masyarakat, sehingga pemerintah meyakini digitalisasi penyiaran menjadi jalan singkat terwujudnya keberagaman kepemilikan yang menjadi syarat terciptanya demokritisasi informasi.

Siaran televisi digital di Indonesia sudah tidak dapat terelakkan lagi keberadaannya. Sistem penyiaran digital merupakan perkembangan yang sangat pesat di dunia penyiaran dimana terdapat peningkatan kapasitas layanan melalui efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio. Sistem penyiaran televisi digital bukan hanya mampu menyalurkan data gambar dan suara tetapi juga memiliki kemampuan multifungsi dan multimedia seperti layanan interaktif dan bahkan informasi peringatan dini bencana.

Perkembangan teknologi yang semakin pesat selalu bersejajar dengan dinamika teknologi telekomunikasi, perfilman dan juga penyiaran. Seiring meningkatnya perkembangan teknologi, digitalisasi penyiaran sejatinya sebuah keniscayaan namun tidak mungkin terbendung. Digitalisasi merupakan sebuah proses alih teknologi yang harus dilakukan. Apalagi proses migrasi dari system analog ke digital sudah dilakukan oleh 85 persen Negara di seluruh dunia. Namun demikian migrasi digitalisasi tidak dapat dilakukan dengan cepat, ada tahapan dan proses yang harus dilalui. Dengan harapan ketika proses migrasi ini telah direaslisasikan, masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat Provinsi Sulawesi Utara dapat menikmati manfaat dan kebergunaan Digitalisasi Penyiaran tersebut. Dengan sendirinya dapat mendukung kemajuan pembangunan Provinsi Sulawesi Utara.

Proses perkembangan teknologi penyiaran telah sampai pada implementasi teknologi penyiaran digital. Sejalan dengan perkembangan dengan teknologi film yang sudah didistribusikan dalam bentuk data digital, teknologi televisi kemudian menyesuaikan dirinya. Perkembangan teknologi penyiaran digital tentu saja tetap berlandas pada teknologi yang sudah ada sebelumnya. Indonesia yang sebelumnya telah memilih teknologi analog penyiaran PAL dalam penyiaran terrestrial saat ini, kemudian dalam penyiaran televisi digital, Indonesia memilih teknologi Digital Video Broadcast Terrestial generasi ke-2 (DVB-T2) sebagai kelanjutan dari teknologi PAL. Keputusan memilih teknologi ini telah final mengingat kedekatan dan kemudahan alih teknologi dari PAL ke DVB-T2.

Proses alih teknologi televisi juga disertai dengan proses penggantian infrastruktur dan alat penerima. Sehingga sampai ke alat penerima siaran televisi pun juga harus diganti dari TV analog ke TV digital. Mau tidak mau, untuk dapat menikmati teknologi teknologi digital dengan optimal, maka masyarakat harus memiliki perangkat penerima televisinya.

Alih teknologi penyiaran oleh produsen perangkat penyiaran tentu saja dengan meninggalkan teknologi lama dan terus mengembangkan teknologi baru yang lebih menjanjikan fitur-fitur dan berbagai kemudahan bagi masyarakat pengguna teknologi baru. Secara perlahan namun pasti, produksi teknologi lama dihentikan. Hal ini justru menyebabkan adanya pemaksaan penggunaan teknologi baru bagi masyarakat sebagai konsumen untuk beralih dari TV analog ke TV digital.

“Kematian” (switch off) teknologi analog sudah lama diprediksi. Bahkan “kematian” teknologi analog memang sudah direncanakan untuk “mati mendadak” tanpa adanya kompetitor. Karena itu produsen perangkat penyiaran digital membuat dan memasarkan perangkat TV digital sebelum Indonesia melakukan peralihan teknologi analog ke teknologi penyiaran digital. Akibatnya perangkat ini sebagain besar tidak dapat digunakan untuk menerima penyiaran digital di Indonesia, hal ini karena perangkat TV digital yang beredar terlanjur menggunakan teknologi DVB-T generasi pertama, padahal akhirnya pemerintah memutuskan menggunakan teknologi digital DVB-T2 generasi kedua. Ketentuan standart TV digital ini diatur dalam Permenkominfo No. 36 tahun 2012 tentang Persyaratan Teknis Alat dan Perangkat Pemancar Televisi Siaran Digital Berbasis Standar Digital Video Broadcasting Terrestrial – Second Generation.

Dalam ketentuan Kemenkominfo ini disebutkan bahwa perangkat penerima siaran TV digital juga harus memiliki perangkat yang mendukung Sistim Peringatan Dini (Early Warning System) mengingat Indonesia berada pada posisi geografis rawan terjadi bencana alam, terlebih khusus daerah Provinsi Sulawesi Utara akan sangat merasakan manfaatnya perangkat TV digital ini.

Sebagai dukungan regulasi terhadap implementasi penyiaran TV digital, pada jauh sebelumnya pada tahun 2009 pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 39 tahun 2009 tentang Kerangka Dasar Penyelenggaraan Penyiaran TV Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free- to-air). Peraturan ini merupakan kerangka dasar atau kerangka pemikiran awal bagaimana melaksanakan implementasi penyiaran TV digital.  Pada bulan November 2011, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 22 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free- to-air) sebagai pengganti Permen Kominfo No. 39/2009. Peraturan ini mengatur tentang model bisnis penyelenggaraan penyiaran TV digital, zona layanan penyiaran multipleksing, TKDN set top box dan pelaksanaan penyiaran TV digital. Namun Permenkominfo No. 22 tahun 2011 ini menuai tantangan dan judical review ke Mahkamah Agung (MA) dari masyarakat penyiaran dimana terjadi ketidaksesuaian Permenkominfo No. 22 tahun 2011 tersebut dengan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Proses judical review tersebut mendapat pengabulan Mahkamah Agung (MA) dengan mengeluarkan keputusan mengabulkan permohonan judical review yang konsekuensinya Permenkominfo No. 22 tahun 2011 tersebut harus dibatalkan.

Terkait dengan pembatalan Permenkominfo No. 22 tahun 2011 oleh Mahkamah Agung, Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Tifatul Sembiring, menegaskan bahwa penyiaran digital akan terus berjalan, sehingga Kemenkominfo melakukan perbaikan dan penyesuaian antara lain pengaturan Analog Switch-Off ditiadakan, penggunaan istilah LPPPM dan LPPPS ditiadakan, serta menghilangkan istilah zona layanan dan kembali menggunakan wilayah layanan, semuanya ini dirumuskan dalam Permenkominfo No. 32 tahun 2013. Dengan kata lain, pemerintah dalam Permenkominfo No. 32 tahun 2013 berupaya mengembalikan kedudukan permen ini sebagai ketentuan lebih lanjut yang merupakan turunan Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2005, Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 2005.

Permenkominfo No. 32 tahun 2013 yang ditandatangani Menkoinfo saat itu Tifatul Sembiring tepat 1 hari setelah habis masa tenggat waktu 90 hari yang diberikan Mahkamah Agung, ternyata telah menyiapkan secara matang permen pengganti, sehingga entitas lembaga penyiaran pun tetap menggunakan istilah LPS (lembaga penyiaran swasta) dan LPP (lembaga penyiaran publik) sebagai turunan dari PP No. 52 tahun 2005. Meskipun pada tataran perannya, permen ini membedakannya menjadi 2 fungsi yaitu sebagai penyedia infrastuktur multipleksing dan sebagai penyedia konten (program siaran).

Selain itu, dengan tidak adanya analog switch off atau ‘kematian mendadak’ migrasi dari penyiaran analog ke digital, maka dengan sendirinya lembaga penyiaran maupun masyarakat masih terlindungi hak-haknya untuk bersiaran dan menikmati siaran televisi secara analog. Kondisi ini dirasa cukup adil, mengingat proses migrasi merupakan suatu kondisi yang sangat luas pengaruhnya bagi hajat hidup orang banyak/ masyarakat sehingga sudah sewajarnya tidak diatur dalam permen melainkan dalam sebuah peraturan setingkat undang-undang. Sehingga pemirsa televisi analog masih bisa menikmati siaran analog hingga 2018. Kementerian Kominfo mendukung langkah perpindahan pengguna TV analog ke TV digital secara natural.

Penyiaran televisi digital terrestrial adalah penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF /UHF seperti halnya penyiaran analog, akan tetapi dengan format konten yang digital. Dalam penyiaran televisi analog, semakin jauh dari stasiun pemancar televisi signal akan makin melemah dan penerimaan gambar menjadi buruk dan berbayang. Lain halnya dengan penyiaran televisi digital yang terus menyampaikan gambar dan suara dengan jernih sampai pada titik dimana signal tidak dapat diterima lagi. Singkat kata, penyiaran TV digital hanya mengenal dua status: Terima (1) atau Tidak (0). Artinya, apabila perangkat penerima siaran digital dapat menangkap sinyal, maka program siaran akan diterima. Sebaliknya, jika sinyal tidak diterima maka gambar-suara tidak muncul. Dengan siaran digital, kualitas gambar dan suara yang diterima pemirsa jauh lebih baik dibandingkan siaran analog, dimana tidak ada lagi gambar yang berbayang atau segala bentuk noise (bintik-bintik semut) pada monitor TV. Pada era penyiaran digital, penonton TV tidak hanya menonton program siaran tetapi juga bisa mendapat fasilitas tambahan seperti EPG (Electronic Program Guide) untuk mengetahui acara-acara yang telah dan akan ditayangkan kemudian. Dengan siaran digital, terdapat kemampuan penyediaan layanan interaktif dimana pemirsa dapat secara langsung memberikan rating terhadap suara program siaran.

Semua negara telah menetapkan tahun migrasi dari siaran analog ke digital. Negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat bahkan telah mematikan siaran analog (analog switch-off) dan beralih ke siaran digital. Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa selambat-lambatnya implementasi penyiaran digital dimulai tahun 2012 dan di tahun-tahun berikutnya di kota-kota besar yang telah bersiaran digital akan dilakukan analog switch-off. 

Dalam roadmap implementasi penyiaran televisi digital, Pemerintah merencanakan bahwa tahun 2018 akan dilakukan analog switch-off secara nasional. Oleh karena itu, sejak kini masyarakat dan para pelaku industri agar mempersiapkan diri untuk melakukan migrasi dari era penyiaran televisi analog menuju era penyiaran televisi digital.

Selain pemerintah, beberapa pihak telah melakukan persiapan menghadapi migrasi ini. Para pelaku industri penyiaran, dalam hal ini industri radio dan televisilah yang paling banyak terlihat melakukan persiapan. Industri penyiaran TV telah melakukan ujicoba siaran digital melalui pembentukan konsorsium TV digital yang khusus disiapkan untuk menyesuaikan diri dengan model bisnis TV digital. Ini juga mengawali satu era dimana Diversity of Ownership telah dapat mulai diposisikan kembali secara proposional, walau belum optimal.

Tidak dipungkiri bahwa sekilas tampak pemerintahlah yang paling banyak memperoleh digital deviden dari migrasi ini, yaitu semakin banyaknya alokasi frekuensi yang dapat “dijual” kepada para pelaku bisnis penyiaran TV. Sementara para pelaku bisnis dari kalangan swasta seolah harus puas menghadapi ‘digital consequent’-nya, tanpa bisa berbuat banyak demi menjaga kesempatan untuk tetap berbisnis di bidang ini. Namun bila lebih jauh dipelajari, sebenarnya proses migrasi ini dapat memberikan deviden bagi seluruh stakeholder. Hal ini sangat tergantung dari kesiapan masing-masing pihak dalam menyikapinya.

Teknologi siaran digital menawarkan integrasi dengan layanan interaktif dimana TV digital memiliki layanan komunikasi dua arah layaknya internet. Siaran televisi digital terestrial dapat diterima oleh sistem penerimaan televisi tidak bergerak maupun sistem penerimaan televisi bergerak. Kebutuhan daya pancar televisi digital yang lebih kecil menyebabkan siaran dapat diterima dengan baik meski alat penerima siaran bergerak dalam kecepatan tinggi seperti di dalam mobil dan kereta. TV digital memungkinkan penyiaran saluran dan layanan yang lebih banyak daripada televisi analog. Penyelenggara siaran dapat menyiarkan program mereka secara digital dan memberi kesempatan terhadap peluang bisnis pertelevisian dengan konten yang lebih kreatif, menarik, dan bervariasi. Siaran menggunakan sistem digital memiliki ketahanan terhadap gangguan dan mudah untuk diperbaiki kode digitalnya melalui kode koreksi error. Akibatnya adalah kualitas gambar dan suara yang jauh lebih akurat dan beresolusi tinggi dibandingkan siaran televisi analog. Selain itu siaran televisi digital dapat menggunakan daya yang rendah. Dengan siaran TV digital setiap satu kanal yang lebarnya 7-8 MHz bisa dipakai oleh 12 program siaran TV, sehingga selain terjadi optimasi frekuensi juga optimasi bandwidth.

Migrasi dari teknologi analog ke teknologi digital membutuhkan penggantian perangkat pemancar TV dan penerima siaran TV. Karena pesawat TV analog tidak bisa menerima sinyal digital, maka diperlukan alat tambahan yang dikenal dengan Set-Top Box yang berfungsi menerima dan merubah sinyal digital menjadi sinyal analog. Set-Top Box berguna untuk meminimalkan resiko kerugian (baik bagi operator TV maupun masyarakat) agar pesawat penerima analog dapat menerima siaran analog dari pemancar TV yang menyiarkan siaran TV Digital, sehingga pemirsa (masyarakat) yang telah memiliki pesawat penerima TV analog secara perlahan-lahan dapat beralih ke teknologi TV digital dengan tanpa terputus layanan siaran yang ada selama ini. Infrastruktur TV digital terrestrial relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan infrastruktur TV analog. Karena itu, operator TV (yang sudah ada) dapat memanfaatkan infrastruktur yang telah dibangun, seperti studio, bangunan, SDM dan lain sebagainya dan menerapkan pola kerja dengan calon penyelenggara TV digital. Sehingga di kemudian hari penyelenggara TV digital dapat dibagi menjadi penyedia jaringan (Network Provider) dan penyedia isi (Content Provider).

Penerapan TV digital ini mungkin tak menjadi persoalan bagi TV nasional yang tergolong lembaga penyiaran besar dengan ketersediaan dana yang cukup. Namun, untuk TV lokal akan sangat sulit menerapkannya mengingat keterbatasan modal yang dimiliki. Yang harus dipertimbangkan adalah kesiapan TV lokal dan masyarakat dalam menerapkan TV digital ini.

Meskipun begitu dibanding dengan sistem analog, digitalisasi dengan satu kanal saja, jika analog hanya untuk satu saluran program, maka dengan sistem digital mampu digunakan untuk 12 saluran program. Artinya, akan ada banyak saluran program yang dapat menjadi pilihan masyarakat dalam menentukan program yang berkualitas sesuai keinginannya. Dengan kian banyaknya saluran program juga dikhawatirkan akan menurunkan kualitas siaran. Jika dari banyak saluran hanya dimiliki beberapa perusahaan yang sama, maka bisa jadi akan ada banyak siaran yang sama ditayangkan di saluran yang berbeda. Tentu kualitas programnya pun akan menjadi kurang bagus. Disinilah proses seleksi akan terbentuk dengan sendirinya. Program dengan kualitas baik akan menjadi pilihan pemirsa TV digital. Yang tentunya berdampak pada omset lembaga penyedia konten program dalam hal ini LPS dan LPP. Semakin banyaknya kehadiran perusahaan penyedia konten program TV digital, tentu menjadi daya tarik sendiri. Disini dapat terbentuknya spesialisasi perusahaan penyedia konten yang bervariasi. Masyarakat dapat menonton siaran olahraga di satu kanal khusus, dapat juga menonton siaran memasak di kanal yang lain pada jam yang tidak ditentukan, karena spesialisasi kanal tersebut.

Dengan sendirinya sektor usaha penyediaan konten dapat bertumbuh dengan baik. Hal ini diharapkan terjadi tidak hanya penyedia konten secara nasional tapi juga penyedia konten lokal. Harapan ini tentu merupakan impian pemerintah dalam menumbuhkan industri kreatif dan inovatif.

HARDY MINHARD

http://digiboxbroadcast.wordpress.com

http://www.rica-rica.com

http://hardyminhard.wordpress.com

Follow Twitter & Instagram @hardyminhard

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun