Selain itu, dengan tidak adanya analog switch off atau ‘kematian mendadak’ migrasi dari penyiaran analog ke digital, maka dengan sendirinya lembaga penyiaran maupun masyarakat masih terlindungi hak-haknya untuk bersiaran dan menikmati siaran televisi secara analog. Kondisi ini dirasa cukup adil, mengingat proses migrasi merupakan suatu kondisi yang sangat luas pengaruhnya bagi hajat hidup orang banyak/ masyarakat sehingga sudah sewajarnya tidak diatur dalam permen melainkan dalam sebuah peraturan setingkat undang-undang. Sehingga pemirsa televisi analog masih bisa menikmati siaran analog hingga 2018. Kementerian Kominfo mendukung langkah perpindahan pengguna TV analog ke TV digital secara natural.
Penyiaran televisi digital terrestrial adalah penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF /UHF seperti halnya penyiaran analog, akan tetapi dengan format konten yang digital. Dalam penyiaran televisi analog, semakin jauh dari stasiun pemancar televisi signal akan makin melemah dan penerimaan gambar menjadi buruk dan berbayang. Lain halnya dengan penyiaran televisi digital yang terus menyampaikan gambar dan suara dengan jernih sampai pada titik dimana signal tidak dapat diterima lagi. Singkat kata, penyiaran TV digital hanya mengenal dua status: Terima (1) atau Tidak (0). Artinya, apabila perangkat penerima siaran digital dapat menangkap sinyal, maka program siaran akan diterima. Sebaliknya, jika sinyal tidak diterima maka gambar-suara tidak muncul. Dengan siaran digital, kualitas gambar dan suara yang diterima pemirsa jauh lebih baik dibandingkan siaran analog, dimana tidak ada lagi gambar yang berbayang atau segala bentuk noise (bintik-bintik semut) pada monitor TV. Pada era penyiaran digital, penonton TV tidak hanya menonton program siaran tetapi juga bisa mendapat fasilitas tambahan seperti EPG (Electronic Program Guide) untuk mengetahui acara-acara yang telah dan akan ditayangkan kemudian. Dengan siaran digital, terdapat kemampuan penyediaan layanan interaktif dimana pemirsa dapat secara langsung memberikan rating terhadap suara program siaran.
Semua negara telah menetapkan tahun migrasi dari siaran analog ke digital. Negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat bahkan telah mematikan siaran analog (analog switch-off) dan beralih ke siaran digital. Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa selambat-lambatnya implementasi penyiaran digital dimulai tahun 2012 dan di tahun-tahun berikutnya di kota-kota besar yang telah bersiaran digital akan dilakukan analog switch-off.
Dalam roadmap implementasi penyiaran televisi digital, Pemerintah merencanakan bahwa tahun 2018 akan dilakukan analog switch-off secara nasional. Oleh karena itu, sejak kini masyarakat dan para pelaku industri agar mempersiapkan diri untuk melakukan migrasi dari era penyiaran televisi analog menuju era penyiaran televisi digital.
Selain pemerintah, beberapa pihak telah melakukan persiapan menghadapi migrasi ini. Para pelaku industri penyiaran, dalam hal ini industri radio dan televisilah yang paling banyak terlihat melakukan persiapan. Industri penyiaran TV telah melakukan ujicoba siaran digital melalui pembentukan konsorsium TV digital yang khusus disiapkan untuk menyesuaikan diri dengan model bisnis TV digital. Ini juga mengawali satu era dimana Diversity of Ownership telah dapat mulai diposisikan kembali secara proposional, walau belum optimal.
Tidak dipungkiri bahwa sekilas tampak pemerintahlah yang paling banyak memperoleh digital deviden dari migrasi ini, yaitu semakin banyaknya alokasi frekuensi yang dapat “dijual” kepada para pelaku bisnis penyiaran TV. Sementara para pelaku bisnis dari kalangan swasta seolah harus puas menghadapi ‘digital consequent’-nya, tanpa bisa berbuat banyak demi menjaga kesempatan untuk tetap berbisnis di bidang ini. Namun bila lebih jauh dipelajari, sebenarnya proses migrasi ini dapat memberikan deviden bagi seluruh stakeholder. Hal ini sangat tergantung dari kesiapan masing-masing pihak dalam menyikapinya.
Teknologi siaran digital menawarkan integrasi dengan layanan interaktif dimana TV digital memiliki layanan komunikasi dua arah layaknya internet. Siaran televisi digital terestrial dapat diterima oleh sistem penerimaan televisi tidak bergerak maupun sistem penerimaan televisi bergerak. Kebutuhan daya pancar televisi digital yang lebih kecil menyebabkan siaran dapat diterima dengan baik meski alat penerima siaran bergerak dalam kecepatan tinggi seperti di dalam mobil dan kereta. TV digital memungkinkan penyiaran saluran dan layanan yang lebih banyak daripada televisi analog. Penyelenggara siaran dapat menyiarkan program mereka secara digital dan memberi kesempatan terhadap peluang bisnis pertelevisian dengan konten yang lebih kreatif, menarik, dan bervariasi. Siaran menggunakan sistem digital memiliki ketahanan terhadap gangguan dan mudah untuk diperbaiki kode digitalnya melalui kode koreksi error. Akibatnya adalah kualitas gambar dan suara yang jauh lebih akurat dan beresolusi tinggi dibandingkan siaran televisi analog. Selain itu siaran televisi digital dapat menggunakan daya yang rendah. Dengan siaran TV digital setiap satu kanal yang lebarnya 7-8 MHz bisa dipakai oleh 12 program siaran TV, sehingga selain terjadi optimasi frekuensi juga optimasi bandwidth.
Migrasi dari teknologi analog ke teknologi digital membutuhkan penggantian perangkat pemancar TV dan penerima siaran TV. Karena pesawat TV analog tidak bisa menerima sinyal digital, maka diperlukan alat tambahan yang dikenal dengan Set-Top Box yang berfungsi menerima dan merubah sinyal digital menjadi sinyal analog. Set-Top Box berguna untuk meminimalkan resiko kerugian (baik bagi operator TV maupun masyarakat) agar pesawat penerima analog dapat menerima siaran analog dari pemancar TV yang menyiarkan siaran TV Digital, sehingga pemirsa (masyarakat) yang telah memiliki pesawat penerima TV analog secara perlahan-lahan dapat beralih ke teknologi TV digital dengan tanpa terputus layanan siaran yang ada selama ini. Infrastruktur TV digital terrestrial relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan infrastruktur TV analog. Karena itu, operator TV (yang sudah ada) dapat memanfaatkan infrastruktur yang telah dibangun, seperti studio, bangunan, SDM dan lain sebagainya dan menerapkan pola kerja dengan calon penyelenggara TV digital. Sehingga di kemudian hari penyelenggara TV digital dapat dibagi menjadi penyedia jaringan (Network Provider) dan penyedia isi (Content Provider).
Penerapan TV digital ini mungkin tak menjadi persoalan bagi TV nasional yang tergolong lembaga penyiaran besar dengan ketersediaan dana yang cukup. Namun, untuk TV lokal akan sangat sulit menerapkannya mengingat keterbatasan modal yang dimiliki. Yang harus dipertimbangkan adalah kesiapan TV lokal dan masyarakat dalam menerapkan TV digital ini.
Meskipun begitu dibanding dengan sistem analog, digitalisasi dengan satu kanal saja, jika analog hanya untuk satu saluran program, maka dengan sistem digital mampu digunakan untuk 12 saluran program. Artinya, akan ada banyak saluran program yang dapat menjadi pilihan masyarakat dalam menentukan program yang berkualitas sesuai keinginannya. Dengan kian banyaknya saluran program juga dikhawatirkan akan menurunkan kualitas siaran. Jika dari banyak saluran hanya dimiliki beberapa perusahaan yang sama, maka bisa jadi akan ada banyak siaran yang sama ditayangkan di saluran yang berbeda. Tentu kualitas programnya pun akan menjadi kurang bagus. Disinilah proses seleksi akan terbentuk dengan sendirinya. Program dengan kualitas baik akan menjadi pilihan pemirsa TV digital. Yang tentunya berdampak pada omset lembaga penyedia konten program dalam hal ini LPS dan LPP. Semakin banyaknya kehadiran perusahaan penyedia konten program TV digital, tentu menjadi daya tarik sendiri. Disini dapat terbentuknya spesialisasi perusahaan penyedia konten yang bervariasi. Masyarakat dapat menonton siaran olahraga di satu kanal khusus, dapat juga menonton siaran memasak di kanal yang lain pada jam yang tidak ditentukan, karena spesialisasi kanal tersebut.
Dengan sendirinya sektor usaha penyediaan konten dapat bertumbuh dengan baik. Hal ini diharapkan terjadi tidak hanya penyedia konten secara nasional tapi juga penyedia konten lokal. Harapan ini tentu merupakan impian pemerintah dalam menumbuhkan industri kreatif dan inovatif.