Siapa yang tak kenal nama Malin kundang, putra minang yang lahir di Pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat. Dia hanya diurus oleh seorang ibu bernama Mande Rubayah. Keduanya kerap menjadi panutan warga di pesisir pantai atas keharmonisan seorang ibu dan anak.
Malin ketika kecil dikenal sosok yang baik, santun dan nurut dengan orangtua yang sudah membesarkannya. Begitu pula dengan kecintaan ibunya kepada anaknya, mengalahkan dirinya sendiri. Namun, keharmonisan keduanya runtuh setelah Malin beranjak dewasa.
Di usia yang semakin dewasa, Malin semakin jauh meninggalkan sosok Mande sebagai ibu. Rupanya, sikap gelap mata Malin setelah berhasil memiliki segalanya hasil menikahi seorang putri saudagar kaya raya. Sampai-sampai ibunya dilupakan. Ibunya merintih nangis, ibunya pun berdoa agar minta keadilan atas sikap anaknya. Brak, Malin seketika berubah menjadi batu.
Kini, karakter Malin hidup lagi. Tapi di Bekasi. Dia muncul sebagai sosok lelaki kuat. Namun, Malin yang tumbuh di Bekasi muncul bukan dari seorang ibu, melainkan tumbuh dari cinta kasih seorang bapak angkat. Bapak yang memberikan kecintaan kepada anaknya. Bapak yang ingin anaknya sukses.
Saking sayangnya, Malin pun selalu diberi mainan yang tak pernah dimiliki anak sebayanya. Malin cepat tumbuh besar. Namanya dikenal hampir seluruh pelosok. Disitu juga, Malin percaya untuk menentukan jalan hidup sendiri tanpa senderan dari sang bapak.
Hampir setiap hari, Malin kerap diajak-ajak sang bapak pergi. Dikenali kolega, dan para sahabat bapak. Tujuannya semata-mata agar Malin bisa menjadi orang terkenal dan menjadi orang nomor satu di Bekasi, seperti sepak terjang sang Bapak.
Di kemudian hari, secara halus, Malin meminta izin untuk hidup sendiri. Awalnya raut wajah sang Bapak terlihat keberatan. Kening sang bapak mengkerut, sorot mata tak berkedip. Pertanda dia tak senang. Alasannya Sang Bapak cuma satu, dia tak mau terjadi apa-apa dengan anak kesayangannya bila harus hidup sendiri.
Karena terus merengek manja, hati si Bapak hambar. Dia pun rela melepas Malin untuk menentukan jalan hidupnya. Sorak gembira tampil disenyum Malin. Sujut hormat pun dilakukan Malin untuk yang terakhir.
Seiring waktu berjalan, pertumbuhan Malin semakin cepat. Nama Malin mensejajarkan dengan nama besar bapaknya sendiri. Malin juga dikabarkan sudah menikahi seorang wanita jutawan. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai keturunan. Sehari-hari, Malin selalu memakai selendang merah yang tersangkut ditubuhnya.
Anehnya, sikap sang bapak, bukannya marah atau merasa tersaing malah merindukan kehadiran anaknya. Wajar, kepergian Malin sudah begitu lama. Tak disangka, setelah mendapat kesempatan bertemu, sang Bapak malah tersakiti.
Malin memanfaatkan kolega dan kerabatnya untuk melawan sang bapak. Bapak yang pernah membesarkan Malin dengan cinta kasih. Bapak yang menghidupkan Malin dengan air mata. Kini Bapak harus menerima bayaran yang tak pantas.
Tak ada sujut hormat, yang terlihat dari Malin hanya senyum ambisi. Malin berubah sebagai anak durhaka.
Meski begitu, sikap sang Bapak, masih menahan amarah kepada Malin. Apakah sang bapak tak ingin Malin ini berubah menjadi batu mirip Malin Kundang di Pasir Air Manis Padang.Â
Atau ada alasan lain si bapak belum bersikap. Mudah-mudahan, Malin dan bapaknya bisa segera bertemu dan duduk bersama menentukan arah hidup keduanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H