Mohon tunggu...
Hardius Usman
Hardius Usman Mohon Tunggu... Dosen - Humanitarian Values Seeker in Traveling

Doktor Manajemen Pemasaran dari FEUI. Dosen di Politeknik Statistika STIS. Menulis 17 buku referensi dan 3 novel, serta ratusan tulisan ilmiah populer di koran. Menulis hasil penelitian di jurnal nasional maupun internasional bereputasi. Mempunyai hobby travelling ke berbagai tempat di dunia untuk mencari nilai-nilai kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Colosseum Tidak Hanya Ada di Roma

10 Juni 2020   09:50 Diperbarui: 10 Juni 2020   11:47 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi Pribadi

Signore Umberto merupakan pemilik apartemen tempat kami menginap di Roma. Dia mempunyai beberapa kamar pada satu lantai dan menyewakannya pada wisatawan. Mempunyai satu lantai apartemen di tengah kota Roma tentu dia bukan orang biasa, tetapi dia mengelola bisnisnya sendiri. 

Dalam melayani kami, dia berlaku tak ubahnya pegawai hotel, bahkan salah satu yang terhangat dan teramah. Dia menjelaskan beberapa aturan di hotel, fungsi peralatan di kamar, fasilitas apartemen yang dapat kami manfaatkan, bahkan tentang destinasi wisata di Roma. Tutur kata dan sikapnya yang merefleksikan penghargaan dan penghormatan sangat berkesan di hati kami. Apalagi setelah dia mengatakan, kalau ada apa-apa, dimana saja dan kapan saja, silahkan hubungi dia. Tiba-tiba kami merasa mempunyai saudara di Roma.

Pagi ini udara cerah, tetapi tetap dibutuhkan sweater untuk menangkal rasa dingin. Kami langkahkan kaki perlahan menuju Colloseum sambil menikmati udara segar Roma. 

Setelah menapaki jalan kecil, sebagaimana arahan yang diberi pak Umberto semalam, kami bertemu jalan besar, yang dari sana hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk sampai di Colloseum. Suasana tidak ramai begitu ramai di minggu pagi itu. Tidak lama melangkah, bangunan yang kami tuju telah nampak. Betul kata pak Umberto, hanya butuh waktu kurang dari 15 menit saja kami telah tiba di Colloseum.

Bangunan monumental ini tampak telah rapuh termakan usia, tetapi 'hawa' keangkerannya tetap terasa. Bagaimana tidak, entah berapa ribu manusia dan binatang meregang nyawa di tempat ini. Dari perspektif manusia modern, mengadu manusia dengan manusia, manusia dengan hewan, bahkan hewan dengan hewan, merupakan perilaku yang tidak beradab. Akan tetapi, apakah demikian perspektif manusia yang hidup dalam budaya Romawi di waktu itu? 

Colloseum ini dirancang untuk menampung 50 ribu orang penonton, berarti banyak masyarakat yang ikut menyaksikan pertunjukan yang dianggap masyarakat moderen tidak berprikemanusiaan itu. Jangan-jangan di saat itu, pertarungan gladiator merupakan pertunjukan yang lazim. Sama halnya dengan suku Maya yang mengorbankan manusia untuk Dewa mereka. Bagi masyarakat modern pasti dianggap perbuatan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, tetapi bagi mereka sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.

Sumber: Koleksi Pribadi
Sumber: Koleksi Pribadi
Norma budaya ternyata berbeda antar waktu sekalipun dalam suatu wilayah. Ini menunjukkan bahwa budaya bersifat dinamis, yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu karena setiap generasi memasukan nilai-nilai baru dalam suatu budaya. Budaya tidak kaku, tetapi beradaptasi dengan pencapaian manusia. Tindakan manusia memang dipengaruhi budaya, tetapi budaya pun dipengaruhi oleh manusia. Orang-orang Italia sekarang tentu tidak akan membenarkan perilaku nenek moyangnya yang membuat pertarungan sampai mati itu. 

Melihat manusia modern yang tidak dapat menerima pembunuhan sebagai bagian dari budaya, menunjukkan bahwa secara perlahan-lahan, dari satu generasi ke generasi berikutnya, manusia semakin mengarah pada hati nuraninya. Dalam diri setiap manusia tersimpan cahaya kasih sayang, simpati dan empati. Nurani manusia penuh dorongan untuk menolong, dan hasrat menggapai kedamaian.

Sekalipun demikian, tidak sedikit manusia yang menutup bahkan menghancurkan hati nuraninya sendiri. Bangga menyakiti orang lain dan menyebarkan kebencian di mana-mana. Mereka sesungguhnya telah menjual hati nurani mereka dengan harga yang murah. Lebih mengerikan lagi, sejarah mencatat bahwa di dunia pernah hadir manusia-manusia yang mampu membantai manusia dengan jumlah yang tidak terhitung banyaknya. Kalau sekedar mendapat kekuasaan, kenapa harus mengorbankan ribuan bahkan jutaan nyawa manusia?

 Mungkin ada yang berbeda di otak mereka, sehingga dia hidup dengan 'budaya' pribadinya. Mahluk seperti itu hingga hari ini masih ada. Makanya perebutan kekuasaan berdarah dan perang masih terus berlangsung.

Colloseum dipandang masyarakat moderen sebagai tempat pembantaian manusia. Oleh karena itu, Colloseum tidak dapat diterima oleh budaya masyarakat moderen. Kenyataannya, masyarakat moderen juga menyaksikan pembantaian manusia di berbagai penjuru dunia. Ini artinya, masyarakat moderen tidak dapat menerima Colloseum di Roma, tetapi membuat banyak 'Colloseum' di berbagai tempat di dunia ini. Jadi, apakah budaya kita memang berbeda dengan budaya Romawi kuno? Atau hati nurani akan selalu kalah dari kekerasan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun