Cara mereka melayaninya pun sangat bersahabat. Beberapa penjaga toko berusaha juga menggunakan bahasa Indonesia untuk merayu kami agar membeli barang dagangannya. Khusus untuk yang terakhir ini, di mana-mana memang begitu, bahkan di Moscow pun pedagang souvenir berusaha menggunakan bahasa Indonesia.Â
'Murah... murah...' merupakan kata-kata yang sering menggema di berbagai pasar souvenir di dunia ini. Ketika sore tiba, kami pun menikmati Phnom Penh Night Market yang menjual aneka masakan, khususnya makanan laut. Rasa masakannya tidak banyak berbeda dengan Jakarta. Di sinipun kami mendapat pelayanan yang baik dan harga yang bersahabat.
Perjalanan ini telah menunjukkan bahwa perasaan was-was sebelum berangkat sama sekali tidak terbukti. Masyarakat Kamboja memang pernah menghadapi pertikaian politik yang berdarah-darah, tetapi petaka itu tidak merubah karakter asli masyarakatnya.Â
Ternyata di Kamboja hanya ada seorang saja Pol Pot, yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menggerakan beberapa orang Kamboja untuk menghianati rasa kemanusiaannya, dan melepaskan jiwanya dari nilai dan norma kultural bangsanya. Manusia Kamboja yang asli bukan Pol Pot, melainkan pedagang air mineral, pedagang rujak, penjual souvenir, dan penjual makanan.
Inilah manfaat dari traveling. Kita bisa menghilangkan kecurigaan, dan meluruskan pemikiran yang salah terhadap sekelompok orang bahkan sebuah bangsa.Â
Sebuah perjalanan selalu memberikan pelajaran tentang kearifan manusia dengan gayanya masing-masing. Manusia pada umumnya mempunyai hati yang mulia di mana pun berada. Tetapi, seringkali manusia yang tak berhati nurani yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, sehingga terjadilah penghianatan terhadap kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H