Mohon tunggu...
Hardiriyanto
Hardiriyanto Mohon Tunggu... Guru - Hardiriyanto, staf pengajar di SMP MARSUDIRINI Bogor.

Terus berusaha dan mencoba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Emansipasi: Bakti Diri bagi Keluarga dan Sesama

21 April 2021   21:25 Diperbarui: 22 April 2021   00:10 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sang emansipasi serta inspirasi keluarga dan sesama (dokpri)

Banyak kisah inspiratif yang dapat selalu memotivasi kita berdasarkan realita kehidupan sehari-hari. Seberapa besar manfaat yang menginspirasi kita biasanya bersifat subyektif. Bahkan terkadang opini orang yang satu dengan yang lain akan relatif berbeda.

Peristiwa berikut ini merupakan hasil percakapan saya dengan seorang perempuan lanjut usia. Tanpa ada niat bagi saya untuk menjadikannya sebuah kisah inspiratif pada awalnya. Namun, seorang sahabat yang selalu menghantui dengan artikel-artikelnya telah menggugah hati saya. 

Berawal dari keisengan belaka. Upaya untuk menularkan virus giat menulis selalu menjadi topik percakapan kami pada media sosial Whatss App. Terkadang, sesekali kami menyisipkan humor dalam percakapan itu. Saya pun mulai terusik dengan celotehannya. Katanya, "Pokoke saomong-omonge orang jadi tulisan, Om, Huaaaaaa !!!"

Segelas kopi hitam ternyata dapat bercerita kepada kita bahwa yang hitam tidaklah selalu kotor. Yang pahit pun tak wajib menyedihkan. Itulah pemeo dari sahabat saya, seorang guru dari Salatiga sekaligus penulis pada blog Kompasiana maupun beberapa redaksi majalah di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.

Sebenarnya, saya sudah memulai percakapan dengan seorang perempuan lanjut usia tersebut sebelum kami saling memotivasi rekan-rekan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk giat menulis. Ketika itu, 1 April 2021. Saat itu, beliau pertama kali datang ke rumah saya. Usianya sudah 60 tahun ketika ia menjawab salah satu pertanyaan dari saya. Akan tetapi, niat murni dalam dirinya sangatlah besar.

"Emak bade damel di dieu kangge nyukupan kabutuhan Abah sapopoena, Aa," ucap perempuan paruh baya itu.

Saya pun terkejut. Emak, seusia itu masih ingin bekerja untuk mencukupi kebutuhan Abah, sang suami tercinta yang kini sudah berusia 70 tahun. Singkat cerita, saya sempat menyangsikan kesungguhannya. Dengan usianya itu, Emak sudah sepatutnya menikmati masa-masa atau hari-hari dengan keceriaan bersama Abah. Sebaliknya, justru beliau ingin menafkahi Abah yang selama 47 tahun menafkahinya lahir maupun batin.

Singkat cerita, saya pun menerima beliau untuk menjadi pangasuh puteri kami yang pertama. Beliau setiap hari datang sekitar pukul 06:45 WIB.  Aktivitas saya dan istri pada pagi hari seringkali terselesaikan olehnya. Terkadang, kami justru menjadi malu.

Pada 21 April 2021, genap 21 hari beliau membantu kami. Sudah seperti orang tua kami sendiri. Bahkan, sangat sungkan bagi kami jika beliau menyelesaikan pekerjaan rumah yang sebenarnya dapat kami selesaikan sendiri.

Siti Fatimah, namanya. Biasa dipanggil Emak Rinah. Saya bingung dengan sebutan itu.

"Eta mah nami anak Ema, Aa," katanya ketika hendak mengajak buah hati kami berkeliling seputar blok komplek rumah  saya dengan kereta bayi.

Ternyata sebutan Emak Rinah sudah familiar bagi tetangga-tetangga di sekitar tempat tinggalnya karena Rinah merupakan puteri angkatnya.

"Emak, kalo selama bulan Ramadhan kegiatan di rumah terganggu, nggak?" tanya saya kepadanya.

"Emak kalo sudah Imsak sekitar pukul 04:00 biasanya nggak tidur, tapi belajar mengaji sama ibu-ibu yang mau belajar," jawabnya.

Memang selepas Imsak, biasanya Emak melaksanakan aktivitas mengaji bersama dengan ibu-ibu, warga di sekitar tempat tinggalnya. Banyak ibu rumah tangga seusianya yang datang  untuk belajar mengaji. Ternyata, Emak termasuk salah seorang yang menjadi guru mengaji bagi ibu-ibu di Desa Karikil, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor.

Percakapan kami pun berlanjut. Rupanya selama enam tahun ini, Emak Rinah telah memutuskan diri untuk berbakti pada Abah sebagai bentuk balas jasa. Selain itu, baktinya pun diberikan kepada ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya dengan menjadi guru mengaji. Saya pun semakin penasaran.

Sebelumnya, dua tahun ia menjadi pengasuh bayi pada satu keluarga yang memiliki usaha perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Tetapi, ia memutuskan untuk berhenti karena alasan kesehatan.

Dua tahun setelah itu pernah dijalaninya menjadi asisten rumah tangga pada sebuah Yayasan pondok pesantren di daerah Rancabungur, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, milik seorang Ustad dari Jampang, Surade, Sukabumi. Namun, hanya bertahan selama dua tahun karena adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan pemberlakuan Belajar Dari Rumah (BDR) bagi para santri dan santriwati. Ia pun tidak merasa diberhentikan atau dirumahkan dari pekerjaannya. Dengan  lapang dada, Emak menerimanya.

"Mungkin rezeki Emak bukan lagi di sana," tambahnya.

Menjadi buruh harian sebagai pemotong bawang merah kiloan di pasar Parung pun pernah dilakoninya selama tiga bulan setelah tidak bekerja menjadi asisten rumah tangga. 

"Emak mendapatkan penghasilan dari kegiatan menjadi guru mengaji?" tanyaku berikutnya.

"Nggak, Aa. Tapi ada saja yang memberi sedekah atau memberi bingkisan berupa kebutuhan sehari-hari," ujarnya.

Ternyata, beliau hanya ingin membagi kemampuan mengajinya kepada ibu-ibu yang bernasib sama sepertinya. Ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya memang rata-rata tidak mengenyam pendidikan. Kebanyakan masih buta huruf dan buta aksara.

Sungguh membuat hati ini tergores. Rupanya, Emak buta huruf dan buta aksara. Emak tidak mengenyam bangku pendidikan. Akan tetapi Emak hebat. Beliau mau membagikan kemampuannya demi kemajuan sesama. Niat murni dalam hati sanubarinya selalu didukung oleh Abah, sang suami tercinta.

Segala sesuatu yang Emak dapatkan selalu Emak bagikan bagi sesama. Entah makanan, entah rezeki, entah ilmu yang meskipun rasanya cuma sedikit. Emak tidak mengharapkan balasan. Hanya pahala yang sekiranya Emak dapatkan nanti dari Tuhan.

Teknik menghafal bacaan-bacaan pendek dari Ayat Suci Al-Quran yang menjadikannya mau berbagi. Beliau tidak tahu huruf latin. Beliau tidak tahu aksara. Apalagi huruf Arab. Teknik tersebut dinamakan "ngawaosan" menurut penuturannya.

Saya pun terharu. Seseorang yang mengasuh puteri kami ternyata pembelajar sejati. Beliau menghadapi segala sesuatu dengan optimis dan humanis. Seseorang yang tak disangka-sangka hadir di tengah-tengah keluarga kami sebagai sosok pembelajar sepanjang hayat.

Enam tahun emansipasinya bagi keluarga. Enam tahun perannya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Enam tahun hari-harinya diisi dengan hidup bakti kepada sang suami maupun sesama dengan menjadi guru mengaji.

Emak memiliki keinginan belajar yang tinggi dari keterbatasannya. Awalnya tidak tahu menjadi tahu. Awalnya belum mau menjadi mau. Awalnya belum mampu menjadi mampu.

Sosok Raden Ajeng Kartini telah terpatri pada diri Emak. Entah ini hanya merupakan  subyektivitas saya saja atau bukan? Pastinya, sosok Emak merupakan sosok yang menginspirasi. Beliau mau membagi berkat bagi sesama dari kekurangan bahkan keterbatasannya. Emansipasinya merupakan wujud bakti diri bagi keluarga dan sesama.

Adakah di antara kita yang sudah seperti beliau? Mungkinkah ada di antara kita yang mau seperti beliau?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun