"Jujur! kamu diberi apa sama bapak? nggak mungkin kamu enggak diberi apa-apa... apa kamu diancam?" sergahku tanpa basa-basi karena sudah mulai tidak bisa menahan emosi.
Susi diam sejenak, kemudian dengan menangis sesunggukan dia berujar, "gaji saya dilipat duakan, bu...", setelah itu dia menubruk lutut saya kembali dan menangis keras. Gara-gara uang dia bisa mengkhianatiku, orang yang percaya kepadanya, yang ia ikuti bertahun-tahun sejak aku belum menikah, aku sangat kecewa, aku akan marah besar, tetapi aku ingat pesan ayah dalam lagunya, hadapi dengan senyum, sabar.
Lalu kupegang pundak Susi dengan pelan, kupegang dagunya dan kutengadahkan. Tapi tiba-tiba wajah Susi berubah menjadi wajah suamiku yang menyeringai dan tertawa mengejekku. Secara reflek kuayunkan lututku ke depan mengenai mukanya, kemudian menendangnya. Belum puas, aku mengambil bangku jati tebal disampingku. Entah kekuatan apa yang merasukiku, tetapi aku kuat mengangkatnya dan melemparkan kearahnya. Sosok di depanku berteriak-teriak histeris, tetangga datang berhamburan.
Tetapi anehnya aku tidak lagi melihat mereka, yang terbayang hanya wajah ayahku yang teduh dan menyanyi untukku "... smile...", akupun tersenyum dan tanpa terasa bersenandung meneruskan lagunya ... tak kuhiraukan lagi suara wanita didepanku ..., "Dok, pasien mulai bernyanyi lagi, sebentar lagi pasti mengamuk ..."
Â
Tulisan lain serupa:
- Koyosovo
- Samba dan Cinta Terlarang (?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H