Itu kejadian 10 tahun yang lalu, mulai saat itu aku memang benar-benar tegar, bahkan aku tersenyum dan mengucapkan selamat jalan untuk ibuku yang meninggal karena kanker payudara. Aku tetap tabah walau untuk membiayai rumah sakit ibuku, harus kehilangan rumah mungil kami dan meskipun dengan penjualan rumah itu tidak bisa memanjangkan usia ibuku.
Setahun yang lalu aku juga tersenyum mengantar kepergian ayahku yang memang sudah sepuh, walau aku kehilangan satu-satunya guru yang benar- benar mendidik dan membimbing dengan kasih. Aku mengikhlaskannya, apalagi waktu itu aku sudah berkeluarga dan dikaruniai seorang anak yang dapat mengurangi kepedihanku.
Aku sekarang akan bercerita tentang kehidupan cintaku. Seperti yang sudah aku ceritakan, hanya sedikit yang mau menjadi temanku, salah satunya Erni. Kami sangat akrab, semua yang kualami dan kurasakan kuceritakan kepadanya, begitu juga dengan dia. Suatu hari, ia memperkenalkan seorang lelaki bernama Johan, diakuinya sebagai pacarnya. "I'm happy for you" kataku dengan tulus. Sementara dalam hati yang teramat dalam ada tanya, "kok bukan milikku ? aku juga ingin punya pacar..". Tapi hanya sebatas itu, keinginanku untuk punya pacar ku-kubur dalam- dalam. Bukan aku tidak percaya diri tetapi aku tahu diri siapa aku, dan memaklumi jika tidak ada yang berani serius denganku melihat aku anak siapa. Setelah lulus SMA, aku tak tahu lagi kabar  mereka. Beberapa tahun kemudian, aku bertemu Johan kembali. Katanya dia married dengan Erni tetapi kandas setahun kemudian. Setelah pertemuan itu, dia intens mendekatiku. Dari tanpa ada rasa apa-apa, melihat keseriusannya dan ketidakpeduliannya akan statusku, akhirnya gayung bersambut. Saat itu aku sudah mandiri, kumanfaatkan kepandaianku menggambar dengan bisnis kaos online. Aku juga sudah mempunyai rumah karenanya. Sedangkan Johan berbisnis beli tanah dan membangunnya menjadi rumah tipe kecil kemudian menjualnya. Karena merasa cukup modal untuk membangun rumah tangga, dan mengingat usiaku sudah tidak muda lagi, kami putuskan untuk menikah. Aku sangat terharu di hari perkawinanku karena ayah terlihat sangat bahagia melihat aku bersanding dengan Johan. Air matanya menetes, mungkin ia teringat almarhumah ibuku. "Ah seandainya...", tapi pasti ibuku di surga juga bahagia melihatku.
Setelah menikah aku dan Johan tinggal di rumahku karena aku tidak tega meninggalkan ayah sendirian. Lagipula rumah Johan adalah rumah dagangan, aku tidak mau berpindah rumah setiap saat rumahnya laku. Suatu saat, Johan meminjam sertifikat rumahku untuk diagunkan ke bank sebagai tambahan modal usahanya, akupun mengiyakan  mengingat selama ini ketika rumah belum laku, pemasukan dari Johan tidak ada, hanya mengambil dari tabungannya yang tidak banyak. Apalagi kami baru saja dikaruniai seorang putra yang tentunya butuh biaya tambahan yang tidak sedikit.
Beberapa bulan yang lalu suamiku pulang dari proyek agak pagi. Belum sempat menutup pintu dia sudah berteriak memanggilku. Dengan suara terbata-bata dan mata berkaca-kaca ia bercerita kalau tanah yang ia bangun sekarang adalah tanah sengketa. ia dibohongi rekan bisnisnya yang sekarang kabur. Aku syok! pikirku langsung ke rumahku yang kubeli dari masih lajang... uangnya kukumpulkan dari sen demi sen terancam hilang. Aku langsung tidak bisa berkata apa-apa, otakku beku, tidak bisa bertanya kenapa bisa ditipu dan sebagainya, aku hanya bisa menangis. Kami membisu beberapa saat. Masih segar dalam ingatanku suamiku juga menangis, tapi kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ma, ini waktunya Ardian pulang sekolah,  mama istirahat dulu biar papa yang jemput" katanya halus sambil mengusap rambutku. Aku sampai terlupa kalau sudah waktunya harus menjemput anakku di Taman Bermain. Aku mengiyakan dan ia meminta Susi pembantuku membuatkan aku teh hangat agar agak bisa lebih tenang.
Sampai sore aku menunggu suami dan anakku belum juga datang. Mungkin jalanan macet, hiburku. Ah, kenapa tidak kutelepon saja? pikirku kemudian ... "kalau pikiran baru kalut memang hal yang mudah kadang tak terpikirkan", batinku. Aku telepon HP suamiku, nada tulalit, mungkin baru menyetir dan HP dimatikan. Kemudian kutelepon Hp guru yang mengajar Ardian, katanya sudah dijemput tepat jam 12.15, jam pulang sekolah. Kutelepon lagi suamiku, kembali nada tulalit yang kudengar...semakin kucecar tombol teleponku, semakin was-was hatiku.. .kenapa dan kenapa berkecamuk dalam pikiranku. Tiba-tiba seperti ada bisikan dalam hati kecilku, "sabar....sabar.... positive thinking, mungkin mobil mogok dan baterai hp suamimu habis atau coba saja telepon rumah sakit yang ada di rute sekolah ke rumah, siapa tau ada kecelakaan kecil yang mengharuskan dia ke sana atau telepon polisi di wilayah itu... pikiran suamimu kan juga tidak fokus, siapa tahu kemudian melanggar aturan lalu lintas". Aku kemudian mengikuti bisikan itu, tetapi hasilnya nihil. Aku kemudian menghubungi nomor telepon teman-temannya yang kutahu, mereka mengaku tidak tahu dimana suami dan anakku berada.
Hari semakin malam. Aku mondar mandir tidak karuan. Orang tua tak punya, saudara tak punya, mertua juga tak punya, kepada siapa lagi aku mengadu? Hanya suami dan anak yang aku punya dan sekarang tak tentu rimbanya. Sampai tengah malam aku tidak bisa tidur. Aku kemudian keluar kamar dan duduk di teras. Aku tak peduli lagi akan maling atau rampok yang akan menyatroniku. Kembali aku berusaha menghubungi suamiku dan hasilnya tetap sia-sia. Bagaimana dengan Ardian? sehatkah ia ... sudah makankah ia, aku mulai melamun. Kemudian aku dikagetkan dengan Susi pembantuku yang entah sejak kapan sudah bersimpuh di dekat kakiku. Aku heran. Seperti jaman feodal, aku tidak mengajarinya untuk duduk seperti itu denganku,  maka aku menyuruhnya duduk disampingku. Bukannya menuruti permintaanku, dia malah menangis memeluk lututku.
"bu, maafkan saya..."
"Apa sih ini Sus?" tanyaku heran bersemu risih
"Saya berdosa sama ibu.."
"jangan mambahi pikiran ibu dong, udah tahu baru 'bunek' gini"