Mohon tunggu...
Hardina Okteviara Hapsari
Hardina Okteviara Hapsari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Seorang penulis yang masih terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

24 Jam

21 Januari 2025   17:41 Diperbarui: 21 Januari 2025   17:41 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu merasa kurang akan waktu yang berlalu dalam sehari. Padahal, dalam sehari ada 24 jam, yang berarti juga 1.440 menit, yang jika dihitung detik berarti 86.400 detik. Sayangnya, bagiku, semua hanya berlalu sekejap mata.

Delapan jam pertama setiap hari dalam hidupku kuhabiskan untuk bekerja, mengumpulkan rupiah untuk bertahan hidup. Sepuluh jam sisanya untuk bermain, mengisi baterai sosialku yang habis setelah bekerja, atau sekadar bermain game sampai puas. Sisanya, biasanya kugunakan untuk berselancar di dunia maya, dan tiga jam yang tersisa untuk tidur. Ya, aku hanya tidur sedikitnya tiga jam, paling lama mungkin lima jam. Aku selalu merasa waktu tidurku sangat kurang, tetapi aku tidak ingin mengorbankan waktu yang lain untuk memperpanjang waktu tidurku.

Hingga mungkin akhirnya tubuhku pun kewalahan. Sore itu, sepulang bekerja, aku terduduk di depan sebuah toko barang antik sembari memegangi kepala. Rasanya, dunia ini seolah berputar. Rasa mual turut meramaikan rasa tidak nyaman di tubuhku, yang membuatku terpaksa untuk turun dari motor dan duduk di kursi kecil ini.

"Kenapa, Le? Kamu sakit?" Suara serak itu terdengar menjamah gendang telingaku. Kepalaku menoleh dengan tangan yang tidak lepas dari dahiku ini.

"Iya, Mbah. Kepala saya sakit. Boleh saya duduk di sini sebentar sampai rasa sakit ini membaik?"

Lelaki dengan rambut beruban dan jenggot yang berwarna sama dengan rambut itu mendekatiku, ikut duduk di sebelahku.

"Sudah minum obat?" tanyanya sembari menatapku simpati. Aku mengangguk pelan.

"Ya sudah. Ayo, masuk dulu. Istirahat sampai kamu merasa baikan," ujarnya. Ia menuntunku untuk masuk ke dalam toko. Aku mengikuti tanpa perlawanan. Sesampainya di dalam, aku diajak untuk duduk di sebuah dipan yang terbuat dari bambu untuk duduk. Mbah itu masuk ke dalam sebuah ruangan, lalu keluar sembari membawakan segelas air. Aku menenggaknya dengan perlahan. Setelah selesai minum, Mbah membantuku untuk merebahkan diri dan membawa masuk kembali gelas yang kugunakan tadi. Saat itulah aku tak sengaja tertidur.

Aku terbangun ketika matahari telah sepenuhnya tenggelam. Mbah itu duduk di meja dekat dipan bambu tempatku tidur sembari mengelap sebuah jam meja antik. Cahaya kuning dari bohlam yang tergantung di tengah ruangan memantulkan seisi ruangan ke dalam retinaku. Dapat kulihat banyaknya barang antik yang terjejer di dalam lemari antik pula. Aroma kayu basah dan sedikit apak tercium, tetapi tidak membuatku merasa aneh. Mbah yang melihatku duduk kemudian meletakkan jamnya, lalu menghampiriku, membantuku untuk duduk. Ia kembali menyerahkan segelas air. Berhubung kerongkonganku terasa kering, aku menerima dan menenggaknya dengan cepat. Mbah itu melihat semuanya dengan seulas senyum tipis. Ia kemudian mengambil jam antik yang ia lap tadi.

"Bawa ini. Percaya tidak percaya, jam ini akan menambahkan waktumu sejam dengan bayarannya sehari dari waktu hidupmu. Kalau aku perhatikan, sepertinya kamu kurang tidur."

Aku masih belum paham dengan maksud Mbah itu. Dengan bingung, kutatap jam antik di tanganku itu. Beberapa kali kubolak-balikkannya, memeriksa secara menyeluruh.

"Tapi, ingat. Waktu yang dibeli, tak bisa dikembalikan," lanjutnya.

Saat aku mengangkat kepalaku, aku baru menyadari sesuatu. Tempat itu mendadak berubah. Dipan bambu yang kutiduri tadi berubah menjadi sebuah meja yang penuh debu. Sementara toko penuh barang antik yang kulihat tadi berubah menjadi sebuah rumah kosong yang penuh sarang laba-laba. Aroma debu dan apak jauh lebih kuat dari sebelumnya menyerang hidungku, hingga membuatku nyaris bersin. Ruangan yang tadinya bercahaya remang-remang kini sepenuhnya gelap, hanya ada sedikit penerangan dari bulan yang bahkan belum bersinar penuh. Dengan segera aku keluar dari rumah kosong itu dengan tangan yang masih memegang jam antik itu. Selanjutnya, segera kunaiki motor yang terparkir di dekat pintu rumah kosong yang secara kebetulan rumah itu berada di tengah perkebunan, tanpa ada rumah lain di sekitar.

***

Sesampainya di rumah, baru kusadari bahwa jam antik itu terbawa, menandakan kalau semua yang kulihat itu bukanlah sekadar khayalanku saja. Sekali lagi, kuperhatikan bentuk jam antik itu dalam keadaan terang. Jam meja bundar antik yang terbuat dari kayu berukir di bagian bingkainya dan logam di bagian jamnya dengan warna cokelat dan sedikit karat di beberapa bagiannya. Baru kusadari bahwa hanya ada jarum pendek yang berada di angka dua belas, tanpa ada jarum lainnya di sana. Ucapan Mbah itu mendadak berkelebat di kepala, tentang waktu yang bisa kubeli. Aku tidak mempercayainya, tadinya. Sampai sebuah bisikan halus terdengar di sebelah telingaku, memberikan arahan tentang cara gunanya.

Tanganku mengikuti suara halus itu, seolah murid yang diberikan tutorial oleh seorang guru tentang mengoperasikan sesuatu. Kuputar jarum pendek jam itu ke angka satu, lalu kuletakkan di atas meja. Kupandang jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 09.33. Setelahnya, aku mandi, berganti baju, lalu kembali merebahkan diri di kasur, betapa terkejutnya diriku saat melihat jam masih menunjukkan waktu yang sama dengan yang kulihat sebelum aku pergi mandi. Aku mengira jam dinding itu mati karena kehabisan baterai. Saat kubuka ponselku, jamnya pun tak berbeda. Bahkan tidak ada sinyal di ponselku. Kini, aku seolah mengerti apa yang dimaksud Mbah itu saat menengok dan memperhatikan jam antik yang jarum pendeknya perlahan mendekati angka dua belas itu. Aku juga baru menyadari akan keheningan yang kurasakan dari luar, seolah hanya ada aku sendirian di dunia ini.

Untuk mendukung teoriku, aku menunggu sampai jarum jam itu kembali ke semula. Tepat ketika jarum jam itu berada di angka dua belas, jam di dindingku kembali berdetik. Begitu pula dengan jam di ponselku. Ternyata, ini maksud dari membeli waktu itu. Sayangnya, aku tidak bisa lagi memutar jarum itu untuk kedua kalinya hari ini.

***

Hadirnya jam antik itu mengubah hidupku. Awalnya, aku hanya berani menambah satu hingga dua jam untuk perpanjangan waktu tidur. Merasa bahwa aku dapat tetap tidur meskipun menghabiskan seluruh waktu normalku untuk bersenang-senang, aku semakin mengurangi jatah normal tidurku dan menambah waktu yang kubeli.

Pernah di suatu hari, karena aku baru mengingat bahwa ada pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum berangkat kerja, aku memutar waktu hingga dua belas jam hanya untuk mengerjakannya, lalu tidur di sisa waktunya.

Siapa yang dapat menyangka kalau lama-lama aku merasa waktu-waktu itu masih kurang. Aku menambah durasinya, dari yang awalnya hanya dua jam, berlanjut tiga, empat, hingga lebih dari sepuluh jam. Bahkan, ada kalanya aku tidak segan untuk memutar sampai lebih dari satu putaran penuh alias lebih dari dua belas jam hanya untuk menambahkan waktu tidur, atau hanya karena aku malas segera berangkat bekerja. Semua kulakukan tanpa berpikir apa yang akan terjadi nantinya. Toh waktu yang dibeli dariku hanya satu hari per satu jam, waktu yang terlalu sedikit untukku. Bahkan, untuk mengurangi setahun waktu hidupku, aku perlu menghabiskan waktu 360 jam. Selain itu, bukankah hidup hanya untuk hari ini?

Sayangnya, perkiraanku salah. Lambat laun, aku merasa tubuhku semakin melemah. Mau berapa lama pun aku tidur, tidak ada yang berbeda. Kelelahan itu terus ada sekalipun aku menghabiskan dua puluh empat jam waktu normal untuk tidur. Saat kulihat wajahku di cermin, aku yang seharusnya masih berusia pertengahan dua puluhan entah mengapa terlihat seperti sepuluh tahun lebih tua, dan seolah terus bertambah tua dalam hitungan hari. Perlahan namun pasti, tubuhku semakin melemah hingga aku tak mampu lagi untuk memutar waktu maju.

Suatu sore, dalam keadaan lemah, aku duduk di kamarku sembari memandangi jam antik itu. mungkin, semua akan berbeda kalau aku tidak keterlaluan dalam membeli waktu. Mungkin, waktu yang seharusnya berharga di masa depan yang kusepelekan itu, sebenarnya adalah satu jam yang tidak ada harganya di masa kini. Mungkin juga, jumlah waktu yang kubeli, yang kusepelekan itu, jika dikumpulkan berbulan-bulan dari awal mula akan mencapai hitungan tahun.

Dengan tangan penuh keriput yang bergetar, kuambil jam antik itu. Kuputar waktunya mundur entah berapa banyak putaran, lalu kuletakkan kembali di meja. Setelahnya, aku kembali memejamkan mata, menanti apa yang akan terjadi.

***

Waktu tiba-tiba kembali dan menempatkanku di situasi saat aku sedang mengendarai sepeda motor. Sayangnya, karena keadaan mendadak mengendarai sepeda motor dan rasa sakit di kepalaku, aku tidak bisa mengendalikan lajunya, lalu oleng, menabrak sebuah rumah kosong dengan keras. Dalam keadaan hampir kehilangan kesadaran itu, kulihat Mbah sedang berdiri di depan pintu rumah itu dengan menggendong jam antik.

Rumah itu, rumah yang menjadi tempat aku bertemu dengannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun