"Tapi, ingat. Waktu yang dibeli, tak bisa dikembalikan," lanjutnya.
Saat aku mengangkat kepalaku, aku baru menyadari sesuatu. Tempat itu mendadak berubah. Dipan bambu yang kutiduri tadi berubah menjadi sebuah meja yang penuh debu. Sementara toko penuh barang antik yang kulihat tadi berubah menjadi sebuah rumah kosong yang penuh sarang laba-laba. Aroma debu dan apak jauh lebih kuat dari sebelumnya menyerang hidungku, hingga membuatku nyaris bersin. Ruangan yang tadinya bercahaya remang-remang kini sepenuhnya gelap, hanya ada sedikit penerangan dari bulan yang bahkan belum bersinar penuh. Dengan segera aku keluar dari rumah kosong itu dengan tangan yang masih memegang jam antik itu. Selanjutnya, segera kunaiki motor yang terparkir di dekat pintu rumah kosong yang secara kebetulan rumah itu berada di tengah perkebunan, tanpa ada rumah lain di sekitar.
***
Sesampainya di rumah, baru kusadari bahwa jam antik itu terbawa, menandakan kalau semua yang kulihat itu bukanlah sekadar khayalanku saja. Sekali lagi, kuperhatikan bentuk jam antik itu dalam keadaan terang. Jam meja bundar antik yang terbuat dari kayu berukir di bagian bingkainya dan logam di bagian jamnya dengan warna cokelat dan sedikit karat di beberapa bagiannya. Baru kusadari bahwa hanya ada jarum pendek yang berada di angka dua belas, tanpa ada jarum lainnya di sana. Ucapan Mbah itu mendadak berkelebat di kepala, tentang waktu yang bisa kubeli. Aku tidak mempercayainya, tadinya. Sampai sebuah bisikan halus terdengar di sebelah telingaku, memberikan arahan tentang cara gunanya.
Tanganku mengikuti suara halus itu, seolah murid yang diberikan tutorial oleh seorang guru tentang mengoperasikan sesuatu. Kuputar jarum pendek jam itu ke angka satu, lalu kuletakkan di atas meja. Kupandang jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 09.33. Setelahnya, aku mandi, berganti baju, lalu kembali merebahkan diri di kasur, betapa terkejutnya diriku saat melihat jam masih menunjukkan waktu yang sama dengan yang kulihat sebelum aku pergi mandi. Aku mengira jam dinding itu mati karena kehabisan baterai. Saat kubuka ponselku, jamnya pun tak berbeda. Bahkan tidak ada sinyal di ponselku. Kini, aku seolah mengerti apa yang dimaksud Mbah itu saat menengok dan memperhatikan jam antik yang jarum pendeknya perlahan mendekati angka dua belas itu. Aku juga baru menyadari akan keheningan yang kurasakan dari luar, seolah hanya ada aku sendirian di dunia ini.
Untuk mendukung teoriku, aku menunggu sampai jarum jam itu kembali ke semula. Tepat ketika jarum jam itu berada di angka dua belas, jam di dindingku kembali berdetik. Begitu pula dengan jam di ponselku. Ternyata, ini maksud dari membeli waktu itu. Sayangnya, aku tidak bisa lagi memutar jarum itu untuk kedua kalinya hari ini.
***
Hadirnya jam antik itu mengubah hidupku. Awalnya, aku hanya berani menambah satu hingga dua jam untuk perpanjangan waktu tidur. Merasa bahwa aku dapat tetap tidur meskipun menghabiskan seluruh waktu normalku untuk bersenang-senang, aku semakin mengurangi jatah normal tidurku dan menambah waktu yang kubeli.
Pernah di suatu hari, karena aku baru mengingat bahwa ada pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum berangkat kerja, aku memutar waktu hingga dua belas jam hanya untuk mengerjakannya, lalu tidur di sisa waktunya.
Siapa yang dapat menyangka kalau lama-lama aku merasa waktu-waktu itu masih kurang. Aku menambah durasinya, dari yang awalnya hanya dua jam, berlanjut tiga, empat, hingga lebih dari sepuluh jam. Bahkan, ada kalanya aku tidak segan untuk memutar sampai lebih dari satu putaran penuh alias lebih dari dua belas jam hanya untuk menambahkan waktu tidur, atau hanya karena aku malas segera berangkat bekerja. Semua kulakukan tanpa berpikir apa yang akan terjadi nantinya. Toh waktu yang dibeli dariku hanya satu hari per satu jam, waktu yang terlalu sedikit untukku. Bahkan, untuk mengurangi setahun waktu hidupku, aku perlu menghabiskan waktu 360 jam. Selain itu, bukankah hidup hanya untuk hari ini?
Sayangnya, perkiraanku salah. Lambat laun, aku merasa tubuhku semakin melemah. Mau berapa lama pun aku tidur, tidak ada yang berbeda. Kelelahan itu terus ada sekalipun aku menghabiskan dua puluh empat jam waktu normal untuk tidur. Saat kulihat wajahku di cermin, aku yang seharusnya masih berusia pertengahan dua puluhan entah mengapa terlihat seperti sepuluh tahun lebih tua, dan seolah terus bertambah tua dalam hitungan hari. Perlahan namun pasti, tubuhku semakin melemah hingga aku tak mampu lagi untuk memutar waktu maju.