"Mbak, tahun depan aku mau kerja ke luar negeri sama Bintang."
Dengan segera aku menoleh menatap adik sepupuku yang sedang menatapku, membuatku segera meletakkan ponsel yang sejak tadi kugunakan untuk membaca komik.
"Ke luar negeri? Sama Bintang? Katanya kamu mau menikah sama dia tahun depan? Tidak jadi, atau habis menikah langsung ke luar negeri?" tembakku dengan pertanyaan beruntun. Sore itu, karena bosan, aku memang berkunjung ke outlet tempat sepupuku bekerja sekaligus tinggal karena rumah orang tuanya agak jauh. Angin sepoi-sepoi berembus dari kipas yang berputar di pojok ruangan. Outlet ini memiliki dua ruangan. Kami duduk di ruang dalam, yang juga menjadi tempat tidur sepupuku, sementara ruang depan digunakan untuk bekerja
Gadis itu dan aku lahir di tahun yang sama, hanya berbeda sebulan lebih tua dirinya. Karena dia anak bibiku, sebagai orang Jawa maka secara mutlak dia yang memanggilku dengan homofon "Mbak". Di umur yang sama ini, aku mengakui bahwa ia jauh lebih dewasa dari diriku. Ketika aku lulus SMA langsung kuliah, ia justru bekerja dan menunda kuliahnya sampai tiga tahun lamanya. Sekarang, statusnya adalah mahasiswa di Universitas Terbuka dan aku adalah pengangguran yang baru lulus kuliah.
"Iya, Mbak. Ke luar negeri. Kebetulan ibunya Bintang ada di Australia. Jadi, aku mau ke sana sama Bintang, dua sampai tiga tahunan di sana untuk mengumpulkan uang, lalu kembali lagi ke Indonesia untuk menikah."
Aku terdiam. Aku dan Sephia, sepupuku ini, telah bersama sejak kami bayi. Hanya saat kami SMA dan aku kuliah saja kami berpisah karena memiliki tujuan berbeda. Baru kembali bersama setelah aku lulus kuliah, pulang dari kota tetangga tempatku menuntut ilmu.
"Kenapa tidak menikah saja dulu, Dek? Lagi pula harus banget, ya, ke luar negeri? Kenapa tidak di Indonesia aja?" cecarku yang merasa kesepian jika ia harus benar-benar pergi.
"Mau bagaimana lagi, Mbak. Di sini penghasilan segitu-gitu saja. Selain itu, aku juga masih punya adik dan orang tua yang harus aku bantu. Bekerja di outlet ATM mini seperti ini juga penghasilannya hanya cukup untuk makan. Tidak bisa ditabung untuk ke depannya." Ia mencoba menjelaskan apa yang ada di pikirannya.
"Tahun depan tinggal hitungan hari, Dek!"
"Iya memang. Selepas tahun baru, aku ingin memulai hal baru dengan bekerja di luar negeri, Mbak." Ia bersikukuh.
Aku menghela napas, mencoba untuk memikirkan dari sudut pandangnya.
"Kalau saja aku sepertimu yang sudah punya warisan, punya rumah untuk pulang, mungkin aku tidak akan bersikeras untuk pergi. Tapi aku tidak punya apa-apa, Mbak. Musibah beberapa tahun lalu menghabiskan semua harta yang keluargaku punya. Jujur saja, untuk menikah dengan Bintang, ayahku tidak sepenuhnya merestui. Justru saat aku berkata kalau aku ingin ikut ibunya Bintang ke luar negeri, beliau baru merestuinya. Karena itu aku sudah bulat memutuskan untuk ke luar negeri. Seminggu lagi, orang yang di-training untuk menggantikanku akan mulai mengambil alih outlet ini. Dari hari itu aku akan benar-benar keluar dari kerjaanku ini untuk mempersiapkan semuanya, Mbak," lanjutnya.
Aku yang teringat bagaimana perjuangan keluarganya untuk bangkit tidak bisa berkata lebih lanjut. Semua orang memiliki masalahnya masing-masing, baik itu aku ataupun dia. Tapi, jika kupikirkan lebih jauh, masalah miliknya jauh lebih rumit dari milikku. Mungkin itu juga yang membentuk pola pikirnya yang keras pada dirinya sendiri.
"Baik, kalau itu keputusanmu, Dek. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik. Jangan lupa istirahat, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri." Aku menyelesaikan ucapanku dengan nada lembut. Sebab hanya itu yang bisa kuberikan.
***
Mencari pekerjaan di negeri ini mungkin dapat dinobatkan sebagai salah satu hal paling sulit. Terlebih untukku yang selama kuliah hanya kuliah-pulang kuliah-pulang. Tidak banyak relasi, tidak ada pengalaman, tidak memiliki apa yang harusnya dimiliki oleh seorang pencari kerja. Terhitung sudah tiga bulan aku berdiam di rumah, mengerjakan pekerjaan domestik sembari memasukkan lamaran sana-sini. Mencoba semua peluang yang ada. Bahkan, tahun yang hampir berganti ini seolah mengejekku yang masih berdiam diri tanpa perubahan apa pun. Resolusi tahun baru? Berhasil menemukan sebuah pekerjaan adalah puncak dari semua resolusi atau apalah itu. Omongan tetangga dan keluarga besar ibarat sebuah hidangan utama setiap kali aku keluar rumah. Pertanyaan template seperti, "Kapan kerja?" atau, "Kok tidak segera kerja? Sayang sekali sudah disekolahkan tinggi-tinggi masih tidak bekerja." sudah seperti kaset rusak yang terus menerus bergaung memenuhi lubang telinga.
"Sudah, jangan dipikirkan orang berbicara. Kamu itu perempuan. Kalau kamu mau menikah sekarang, pun, akan langsung ibu dan bapak setujui. Kamu tidak berkewajiban bekerja. Hidupmu sebagai perempuan ini selama masih belum menikah menjadi tanggungan orang tuamu. Setelah kamu menikah, maka suamimu yang menanggungnya. Jangan terlalu dibawa hati," ucap ibu suatu sore saat melihatku melamun di ruang tamu. Beliau duduk di kursi depanku, terhalang sebuah meja. Sebuah pigura dengan foto satu keluarga dengan diriku yang memakai toga dan selempang cum laude terpajang di dinding. Beberapa bulan lalu, memandang foto itu membawa kebahagiaan untukku. Sekarang, rasanya seperti beban.
"Mau menikah sama siapa. Calon saja tidak ada," jawabku cepat.
"Ya mana tahu. Makanya dicari biar ada."
 "Bu ...," panggilku. Ibu yang sudah memegang ponselnya pun berdehem untuk menjawab. Beliau meletakkan ponselnya di meja, lalu menatapku.
"Ada apa?" tanyanya.
"Kan sebentar lagi tahun baru, tahun yang lama sudah selesai. Sementara aku belum juga dapat kerja. Boleh tidak kalau tahun besok aku berangkat ke luar negeri? Kerja di sana. Gajinya besar, loh. Lumayan, kan? Lima tahun saja, terus kembali ke Indonesia." Aku bertanya dengan takut-takut.
"Mau ke mana?" tanya ibu. Air wajahnya sedikit masam.
"Jepang saja, Bu. Ikut penyalur tenaga kerja, gitu. Katanya besar gajinya di sana."
"Nggak! Kalau memang kamu mau kerja ke luar negeri, kenapa tidak dari awal saja? Kenapa repot-repot kuliah? Tidak usah! Cari saja kerja di dalam negeri. Jangankan ke luar negeri, luar pulau saja tak diizinkan." Ibu menolak pemikiranku dengan tegas.
"Tapi Dek Sephia saja boleh ke luar negeri, masa aku tidak? Di sini susah, Bu, mencari kerjanya. Semua sudah aku coba, tapi tidak ada satu lamaran pun yang diterima. Aku capek, Bu!"
 "Nak," ibu memanggilku pelan, "sekarang jawab ibu, kamu ke luar negeri mau kerja jadi apa? Buruh, kan? Atau mungkin perawat lansia. Bukan ibu merendahkan pekerjaan itu, tapi bukankah sayang untuk gelarmu? Kalau kamu memaksa kerja di luar negeri, oke untuk lima tahun kamu kerja. Setelah pulang, kamu mau apa? Ibu dan bapakmu sudah tua. Kami tidak mau kamu jauh. Penyesalan itu datangnya di belakang. Bagaimana jika saat kamu di luar negeri tiba-tiba dapat kabar bapak atau ibu sakit? Bagaimana kalau kamu di luar ternyata ada apa-apa di rumah? Ibu dan bapak tidak mau kamu menyesal. Ibu sama bapak masih sanggup nafkahin kamu."
Aku terdiam. Percakapan sore itu terhenti tanpa titik temu.
***
Tidak ada yang berbeda setelah berdebat kecil dengan ibu sore itu kecuali pikiranku yang semakin rumit. Mencoba memilah semua kemungkinan dan informasi yang ada. Jika menuruti keinginanku, Aku sebenarnya ingin pergi ke luar negeri karena penasaran dengan hal baru. Mengunjungi tempat baru, bertemu orang baru, melihat hal-hal yang tak bisa dengan mudah ditemukan di tempatku. Akan tetapi, orang tuaku sudah banyak mengalah akan diriku dengan membiarkan aku kuliah ke mana pun dan jurusan apa pun. Sejak kecil pun aku sudah diberikan banyak kebebasan akan pilihanku selama itu tidak menyimpang apa pun. Aku merasa, mungkin memang waktunya untukku melakukan apa yang mereka inginkan tanpa mencederai keinginanku.
Malam itu, tepat tanggal 31 Desember, kami mengadakan acara makan-makan keluarga. Acara sederhana dengan membakar jagung dan frozen food. Seluruh anggota keluarga berkumpul, mulai dari bapak, ibu, serta adik keduaku yang di pesantren dan adik bungsuku. Kupikir, ini saat yang tepat untuk membicarakan sesuatu dengan mereka.
"Bu, Pak, aku sudah keterima kerja," ucapku tiba-tiba. Bapak dan ibu nyaris tersedak karena mendengarnya.
"Kerja? Di mana? Kok tidak bilang?" cecar ibu.
"Nggak jauh kok, Bu. Jadi guru di SD swasta dekat sini. Kemarin interview dan alhamdulillah tadi siang diterima."
Malam itu, meski tidak ada kembang api yang meletup di langit, percakapan kami di meja makan seperti percikan kecil yang menerangi jalanku. Akhirnya, aku tahu di mana aku harus memulai tahun baru ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H