"Kalau saja aku sepertimu yang sudah punya warisan, punya rumah untuk pulang, mungkin aku tidak akan bersikeras untuk pergi. Tapi aku tidak punya apa-apa, Mbak. Musibah beberapa tahun lalu menghabiskan semua harta yang keluargaku punya. Jujur saja, untuk menikah dengan Bintang, ayahku tidak sepenuhnya merestui. Justru saat aku berkata kalau aku ingin ikut ibunya Bintang ke luar negeri, beliau baru merestuinya. Karena itu aku sudah bulat memutuskan untuk ke luar negeri. Seminggu lagi, orang yang di-training untuk menggantikanku akan mulai mengambil alih outlet ini. Dari hari itu aku akan benar-benar keluar dari kerjaanku ini untuk mempersiapkan semuanya, Mbak," lanjutnya.
Aku yang teringat bagaimana perjuangan keluarganya untuk bangkit tidak bisa berkata lebih lanjut. Semua orang memiliki masalahnya masing-masing, baik itu aku ataupun dia. Tapi, jika kupikirkan lebih jauh, masalah miliknya jauh lebih rumit dari milikku. Mungkin itu juga yang membentuk pola pikirnya yang keras pada dirinya sendiri.
"Baik, kalau itu keputusanmu, Dek. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik. Jangan lupa istirahat, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri." Aku menyelesaikan ucapanku dengan nada lembut. Sebab hanya itu yang bisa kuberikan.
***
Mencari pekerjaan di negeri ini mungkin dapat dinobatkan sebagai salah satu hal paling sulit. Terlebih untukku yang selama kuliah hanya kuliah-pulang kuliah-pulang. Tidak banyak relasi, tidak ada pengalaman, tidak memiliki apa yang harusnya dimiliki oleh seorang pencari kerja. Terhitung sudah tiga bulan aku berdiam di rumah, mengerjakan pekerjaan domestik sembari memasukkan lamaran sana-sini. Mencoba semua peluang yang ada. Bahkan, tahun yang hampir berganti ini seolah mengejekku yang masih berdiam diri tanpa perubahan apa pun. Resolusi tahun baru? Berhasil menemukan sebuah pekerjaan adalah puncak dari semua resolusi atau apalah itu. Omongan tetangga dan keluarga besar ibarat sebuah hidangan utama setiap kali aku keluar rumah. Pertanyaan template seperti, "Kapan kerja?" atau, "Kok tidak segera kerja? Sayang sekali sudah disekolahkan tinggi-tinggi masih tidak bekerja." sudah seperti kaset rusak yang terus menerus bergaung memenuhi lubang telinga.
"Sudah, jangan dipikirkan orang berbicara. Kamu itu perempuan. Kalau kamu mau menikah sekarang, pun, akan langsung ibu dan bapak setujui. Kamu tidak berkewajiban bekerja. Hidupmu sebagai perempuan ini selama masih belum menikah menjadi tanggungan orang tuamu. Setelah kamu menikah, maka suamimu yang menanggungnya. Jangan terlalu dibawa hati," ucap ibu suatu sore saat melihatku melamun di ruang tamu. Beliau duduk di kursi depanku, terhalang sebuah meja. Sebuah pigura dengan foto satu keluarga dengan diriku yang memakai toga dan selempang cum laude terpajang di dinding. Beberapa bulan lalu, memandang foto itu membawa kebahagiaan untukku. Sekarang, rasanya seperti beban.
"Mau menikah sama siapa. Calon saja tidak ada," jawabku cepat.
"Ya mana tahu. Makanya dicari biar ada."
 "Bu ...," panggilku. Ibu yang sudah memegang ponselnya pun berdehem untuk menjawab. Beliau meletakkan ponselnya di meja, lalu menatapku.
"Ada apa?" tanyanya.
"Kan sebentar lagi tahun baru, tahun yang lama sudah selesai. Sementara aku belum juga dapat kerja. Boleh tidak kalau tahun besok aku berangkat ke luar negeri? Kerja di sana. Gajinya besar, loh. Lumayan, kan? Lima tahun saja, terus kembali ke Indonesia." Aku bertanya dengan takut-takut.