#Cerpus
KALONG KALONG || Cerpen + Puisi Dian Chandra
Dalam gelap aku berumah, untuk menguasai segala ketakutan dan kemarahan orang-orang.
Hei, Kau! Biarkan malam ini aku berkisah tentang ulah kaumku. Mereka gemar bermukim dalam kegelapan dan senang menguasai gelap. Kau tahu, sudah lima malam ini Desa Mesam Mesem selalu mati lampu setiap pukul 22.00 hingga pagi menjelang. Itu pun bila beruntung, bila tidak, maka listrik tak kunjung hidup selama seharian- semalaman. Huh!
Ahh, aku ingat betul ulah siapa itu. Ya, siapa lagi kalau bukan ulah kawananku yang berhati keji itu. Saban malam mereka bertengger di tiang listrik dan kabel-kabelnya. Tak peduli akan mati tersengat, pokoknya asal listrik padam, mereka sudah puas. Uhh!
malam-malam
kalong-kalong
membunuh diri
: mereka hendak
mengunyah-ngunyah kegelapan
(malam & hati orang-orang)
Kadang-kadang aku bertanya-tanya, kenapa sih kalong-kalong dewasa itu nekad bunuh diri hanya demi kelam malam? Apa kau tahu? atau mungkin kau bisa menebaknya?
Huh, aku pun pada mulanya tak begitu paham. Yaa, aneh saja kan, melihat satu per satu kalong-kalong dewasa dan tua itu mati bergelantungan di kabel-kabel listrik. Hei, kalian sudah bosan hidupkah?
kalong-kalong menuju
maut
sedang kekalutan
membalut-balut
raut
yang berwajah akut
Aku hitung-hitung selama lima malam itu sudah ada lima puluhan kalong yang menemui mautnya. Uhh, tiba-tiba saja mereka telah menjadi kalong bakar. Mungkin kalau aku menjualnya kepada para makhluk halus, aku bisa mendapatkan keuntungan yang banyak. Bukankah mereka doyan makan sate kalong? Begitulah kabarnya.
Uhh, jika saja aku bisa menjual sate kalong itu, tentu saja uangnya akan kubelikan lahan berhektar-hektar dengan aneka tanaman buah yang lezat. Supaya aku tak perlu bersusah-payah lagi. Uhh!
Sayang, sungguh disayang! Tetua kalong tak pernah bersetuju dengan ide gokilku itu. Katanya aku gila, kebanyakan makan kepijit. Uhh!
Bukankah yang lebih gila itu justru si Tetua dan kawanan kalong bodoh itu? Kegilaan macam apa itu yang rela menggosongkan badan di kabel-kabel listrik hanya demi menikmati kegelapan di mana-mana? Hanya demi melihat kelam di hati penduduk Desa Mesam Mesem. Huh! Gila, sungguh gila! Aku sudah muak!
kekejian ini nyata,
tulang-tulang jatuh
dari pokok-pokok kabel
: sedang aku tak ingin makan
tulang
dan menumpuk kematian
Setelah lelah melihat pemandangan sate kalong, pada akhirnya kulampiaskan kemarahanku kepada Tetua Kalong yang semakin sepuh dan rapuh itu.
"Tidakkah kau lihat, pohon-pohon tempat kita bernaung dan mencari makan telah semakin berkurang. Ulah siapa lagi, kalau bukan ulah orang-orang itu, yang gemar mendukung gedung-gedung dan mencampakkan alam," tutur Tetua, nadanya tegas. Aku pun kikuk.
"Orang-orang itu membikin garis kematian semakin mendekati kita. Tak lama lagi tak akan ada lagi kawanan kalong. Lalu untuk apa kita bertahan dengan segala kemalangan ini? Orang-orang itu harus merasakan segala kekelaman ini. Biar, biar saja mereka mandi keringat di gelap malam. Biar, biar saja anak-anak mereka merengek-rengek karena kepanasan dan takut gelap. Biar, biar saja peralatan listrik mereka menjadi tak berguna. Biar, bisa saja kekelaman menguasai hati mereka."
Kau tahu, setelah itu ramai-ramai kawanan kalong menyerbu pemukiman penduduk Desa Mesam-Mesem. Menyebarkan segala kepijit dan mematikan segala cahaya. Uhh, aku tak tahu hendak kemana.
Maka ini lah kisahku, yang kutulis sembari bergelantungan di kabel-kabel. Uhh, aku merasa keren sekali.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H