Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Burung Berbulu Hijau, dan Pecahan Keramik || Cerpen Dian Chandra

21 Oktober 2023   20:06 Diperbarui: 21 Oktober 2023   22:57 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih giat mengais tanah. Mencari-cari pecahan keramik, yang mungkin memang terselip di sana. Ahh, tidak. Aku yakin betul, keping keramik itu memang berada di sini, di bawah tanah hitam, yang jauh di dalamnya dihuni pasir-pasir timah. Lalu, apakah aku harus mencari hingga sedalam itu?

Aku menyusuri sekitar. Ada tanaman kenudek, yang ranting-rantingnya telah dihuni oleh laba-laba hitam, yang sibuk memintal jaring. Ada kawanan semut merah, berbaris rapih, sembari memanggul remah-remah bangkai burung hantu, yang mungkin mati tadi malam. Sedang di sana, pada salah satu ranting pohon mangga, bertengger seekor burung dengan bulu-bulunya yang berwarna hijau. Burung itu sedang menatapku.

"Apa kau tak berlebaran?" tanya Burung itu, ia sungguh sibuk mematuk-matuk badannya. Mungkin ada sepasang kutu bermukim.

"Malas," jawabku asal. Kudengar burung kecil itu tertawa. Tawanya sungguh menjengkelkan. Aku tak tahan hendak memakinya, sembari melemparnya dengan cetok yang sedang kupegang.

Rupanya burung itu tahu maksudku. Si kecil berparuh itu segera bersuara, "Kau tak perlu marah padaku. Cukup lanjutkan saja urusanmu itu. Sebelum lebaran usai, atau kau tak dapat kesempatan untuk membikin bangga ayahmu!"

Sial. Mengapa burung itu bisa tahu maksudku?

"Aku masih ingat wajahmu saat kau kanak-kanak. Dulu kau selalu gembira. Senang memamerkan nilai-nilai sekolahmu yang selalu sempurna itu. Kau juga gemar memamerkan baju lebaranmu," celetuk burung bermata kelam itu. Ia masih saja mematuki bulu-bulunya. Mungkin benar ada sepasang kutu di sana.

"Tahu apa kau tentang aku?" tanyaku sembari menyapu-nyapu tanah dengan kuas. Sesuatu berkilau di sana.

"Aku tahu banyak tentangmu. Kau ingin lebaranmu kembali terulang, bukan? Saat-saat ayahmu bangga menatapmu. Sebab, kau selalu menyenangkan hatinya, lewat berbagai kemenanganmu di setiap perlombaan catur, cerdas cermat, dan bidang lainnya. Lalu sekarang kau kalah. Lantas kau merasa ayahmu telah berpaling darimu. Tak lagi menganggapmu sebagai anak yang patut dibanggakan. Bukan begitu?" Burung itu dengan santainya berucap, sedang aku tertegun sejenak.

"Apa kau cenayang? Apa kau menguntitku? Ahh, apa aku sudah gila, bagaimana mungkin burung bisa berbicara?" Aku menepuk-nepuk dahi. Lalu menarik napas dan mengembuskannya dengan sangat kasar. Sementara burung itu menatapku dengan pandangan aneh.

"Kau tidak gila. Aku memang dapat berbicara. Ahh, itu tak penting. Sekarang, lekaslah kau temui ayahmu itu. Kau telah berhasil menemukan keping keramik yang kau perdebatkan dengan ayahmu sejak beberapa hari yang lalu. Lekas!"

Aku memandang takjub pada burung ajaib itu. Lalu menatap penuh pada sekeping pecahan keramik Cina, yang kini berada di dalam plastik. Aku masih tak percaya, bahwa ucapanku benar, bahwa pendapatku benar, "Ada pemukiman Cina di tempat ini!"

Lalu lekas kuberanjak. Berjalan kaki menuju rumahku, yang memang tak terlalu jauh dari tempat aku mengais-ngais artefak.

Sesampainya di halaman rumahku yang rindang. Kudapati ayah sedang duduk di teras, menatapku dengan aneh. Meski tak seaneh pandangan burung kecil tadi.

Melihatku datang, ayah segera berdiri. Aku pun lekas menunjukkan perolehanku, sebuah pecahan keramik Cina.

"Ini pecahan keramik yang membuktikan kebenaran ucapanku, Yah. Tempat itu dulunya memang ada pemukiman etnis Cina. Lagi pula sangat dekat dengan pantai. Mungkin saja ...." Belum selesai aku berucap, Ayah telah menangis tersedu-sedu.

"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah yang selalu memaksamu untuk sempurna. Sekarang Ayah sadar. Bagaimanapun pilihanmu, apapun kehendakmu, kamu tetap putri ayah yang selalu Ayah banggakan."

Aku mencium tangan Ayah. Lalu turut menangis. Namun, jauh di dalam hatiku aku merasa lega. Sungguh, ini akan menjadi lebaran yang akan kukenang. Saat-saat aku menemukan ketenangan jiwa dan berdamai dengan keinginan Ayah.

Sementara itu, dari tempatku berpijak, mataku jauh menatap pada Ibu yang berdiri menatapku. Ibu tampak tersenyum, sedang di pundaknya bertengger seekor burung berbulu hijau. Burung itu sibuk mematuki bulu-bulunya. Mungkin, sepasang kutu telah beranak-pinak di sana.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun