Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Burung Berbulu Hijau, dan Pecahan Keramik || Cerpen Dian Chandra

21 Oktober 2023   20:06 Diperbarui: 21 Oktober 2023   22:57 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memandang takjub pada burung ajaib itu. Lalu menatap penuh pada sekeping pecahan keramik Cina, yang kini berada di dalam plastik. Aku masih tak percaya, bahwa ucapanku benar, bahwa pendapatku benar, "Ada pemukiman Cina di tempat ini!"

Lalu lekas kuberanjak. Berjalan kaki menuju rumahku, yang memang tak terlalu jauh dari tempat aku mengais-ngais artefak.

Sesampainya di halaman rumahku yang rindang. Kudapati ayah sedang duduk di teras, menatapku dengan aneh. Meski tak seaneh pandangan burung kecil tadi.

Melihatku datang, ayah segera berdiri. Aku pun lekas menunjukkan perolehanku, sebuah pecahan keramik Cina.

"Ini pecahan keramik yang membuktikan kebenaran ucapanku, Yah. Tempat itu dulunya memang ada pemukiman etnis Cina. Lagi pula sangat dekat dengan pantai. Mungkin saja ...." Belum selesai aku berucap, Ayah telah menangis tersedu-sedu.

"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah yang selalu memaksamu untuk sempurna. Sekarang Ayah sadar. Bagaimanapun pilihanmu, apapun kehendakmu, kamu tetap putri ayah yang selalu Ayah banggakan."

Aku mencium tangan Ayah. Lalu turut menangis. Namun, jauh di dalam hatiku aku merasa lega. Sungguh, ini akan menjadi lebaran yang akan kukenang. Saat-saat aku menemukan ketenangan jiwa dan berdamai dengan keinginan Ayah.

Sementara itu, dari tempatku berpijak, mataku jauh menatap pada Ibu yang berdiri menatapku. Ibu tampak tersenyum, sedang di pundaknya bertengger seekor burung berbulu hijau. Burung itu sibuk mematuki bulu-bulunya. Mungkin, sepasang kutu telah beranak-pinak di sana.

Tamat

Greetingsisland.com
Greetingsisland.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun