Aku memandang takjub pada burung ajaib itu. Lalu menatap penuh pada sekeping pecahan keramik Cina, yang kini berada di dalam plastik. Aku masih tak percaya, bahwa ucapanku benar, bahwa pendapatku benar, "Ada pemukiman Cina di tempat ini!"
Lalu lekas kuberanjak. Berjalan kaki menuju rumahku, yang memang tak terlalu jauh dari tempat aku mengais-ngais artefak.
Sesampainya di halaman rumahku yang rindang. Kudapati ayah sedang duduk di teras, menatapku dengan aneh. Meski tak seaneh pandangan burung kecil tadi.
Melihatku datang, ayah segera berdiri. Aku pun lekas menunjukkan perolehanku, sebuah pecahan keramik Cina.
"Ini pecahan keramik yang membuktikan kebenaran ucapanku, Yah. Tempat itu dulunya memang ada pemukiman etnis Cina. Lagi pula sangat dekat dengan pantai. Mungkin saja ...." Belum selesai aku berucap, Ayah telah menangis tersedu-sedu.
"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah yang selalu memaksamu untuk sempurna. Sekarang Ayah sadar. Bagaimanapun pilihanmu, apapun kehendakmu, kamu tetap putri ayah yang selalu Ayah banggakan."
Aku mencium tangan Ayah. Lalu turut menangis. Namun, jauh di dalam hatiku aku merasa lega. Sungguh, ini akan menjadi lebaran yang akan kukenang. Saat-saat aku menemukan ketenangan jiwa dan berdamai dengan keinginan Ayah.
Sementara itu, dari tempatku berpijak, mataku jauh menatap pada Ibu yang berdiri menatapku. Ibu tampak tersenyum, sedang di pundaknya bertengger seekor burung berbulu hijau. Burung itu sibuk mematuki bulu-bulunya. Mungkin, sepasang kutu telah beranak-pinak di sana.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H