Dari jauh dengan bantuan penerangan dari obor yang digenggamnya, tampak sesosok makhluk tinggi besar, berbulu hitam, berambut panjang dan bertaring sedang menikmati hati segar dari pelanduk yang terbujur kaku di tanah. Bujang Harek segera berlari tanpa menoleh ke belakang. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senapan, sedang di tangan kirinya erat dipegangnya obor.
Sialnya, rupa-rupanya, makhluk itu menyadari kehadiran Bujang Harek. Sehingga dikejarnya lah Bujang Harek. Menyadari dirinya sedang dikejar, makin kencang lah Bujang Harek berlari.
Sambil berlari, Bujang Harek mengingat-ingat pesan dari kakeknya dulu.
"Jadilah pemberani. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya. Memiliki akal dan iman!" ucapan kakeknya itu pun terngiang-ngiang.
Bujang Harek menghentikan larinya. Ia mengatur nafas. Tampak jelas wajahnya yang kemerahan karena kelelahan sekaligus ketakutan. Namun, wajah itu segera kembali seperti tampak biasa saja, tatkala Bujang Harek menguatkan dirinya untuk menunjukkan keberaniannya.
"Menghadapi penjajah Belanda dan Jepang saja aku berani. Mengapa menghadapi makhluk asing aku harus takut?"
Dari kejauhan telah tampak sosok makhluk tinggi besar itu. Makhluk itu bermaksud menakuti Bujang Harek. Namun, Bujang Harek tak gentar sedikit pun. Malahan diarahkannya senapannya ke arah makhluk itu.
"Door!" satu peluru tepat mengenai dada makhluk bernama Hantu Mawang itu. Seketika roboh lah ia ke tanah.
Mendengar suara tembakan, rupanya membuat kawan-kawannya berhamburan ke luar pondok dan berusaha mencari sumber suara tembakan. Tentu saja kawan-kawannya itu mengkhawatirkan Bujang Harek.
Tak lama kemudian kawan-kawannya itu sampai jua di tempatnya. Mereka terkaget-kaget sekaligus ketakutan tatkala melihat makhluk asing yang sedang terkulai tak berdaya di tanah. Makhluk itu memohon untuk ditembak sekali lagi. Namun, ditolak oleh Bujang Harek.
"Laki-laki pantang menembak dua kali!" sahutnya tegas.