Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mak Ngah dan Tiga Biri-Biri yang Berlarian di Kepalanya || Cerpen Dian Chandra

24 September 2023   22:16 Diperbarui: 3 November 2023   21:45 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Anu, saya butuh tumpangan ke sana," Mak Ngah menjawab seadanya. Tentu saja, para supir menolak mengantar. Mereka sudah tentu punya janji masing-masing selepas ini. 

"Tolong, lah, Bang!" pinta Mak Ngah. Matanya hendak menangis. Namun, ditahan-tahannya. 

"Eh, Mul. Cobalah kau supiri dia. Sekalian lah kau pulang kampung ke rumah emakmu itu!" Tiba-tiba pria dengan tompel di wajahnya angkat suara. Rupanya ia senior di sana. Maka mau tak mau, yang namanya disebutkan menurut saja. Meski sebetulnya ia enggan pulang ke rumah emaknya. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan Yuk Mika --pacarnya yang bahenol--

"Tapi ongkosnya gimana, Bang?" Mul mulai bimbang. Ia ragu-ragu akan mendapatkan tumpangan di malam tahun baru ini, bila tetap nekad melanjutkan perjalanan. Ia tak mau rugi.

"Sudah, kau pakai motor sajalah. Itung-itung jalan-jalan malam, kau! Nih, kuberi ongkos bensin!" Laki-laki itu memberikan selembar uang merah ke tangan Mul. Mul tak bisa lagi mengelak. Ahh, ia akan gagal menikmati kemontokan pacarnya. 

Maka selepas magrib berangkatlah keduanya dengan sangat hati-hati. Mereka meninggalkan kemeriahan malam tahun baru dan hangatnya kebersamaan bersama orang-orang terdekat. Adapun Mak Ngah tahu betul itu. Bahwa ia harus meninggalkan anak-anaknya, meski hatinya teriris. Sedang di kepalanya, diam-diam mulai bermukim empat ekor biri-biri. Dan ia tak tahu itu. Ia hanya menatap kekosongan malam, yang sejenak lagi akan ramai kembang api. 

Ahh, Mak Ngah memegang erat besi di belakang jok motor. Mul mulai mengebut. Pikiran laki-laki lajang itu entah ke mana. Namun, ia begitu pandai menguasai motor dan jalanan. Wajar saja, jalanan ialah rumah pertamanya, setelah kekasihnya. Diam-diam laki-laki lajang beraroma cerutu itu tersenyum. Mungkin mengenang ciuman kekasihnya di malam lalu. 

Sedang di sana, tiga puluh menit jauhnya, empat anak kecil merengek-rengek meminta ibunya, sembari menarik-narik baju Nek Jum. Membuat perempuan tua itu mengadu kepada suaminya.

"Bang, teleponlah Sari. Anak-anak e nangis terus!" Ahh, mungkin saja rengekan anak-anak Mak Ngah ialah isyarat, pertanda akan nasib ibunya --si Sari yang keras kepala dan mau menang sendiri. 

Oh, akankah biri-biri di kepala Mak Ngah beralih menuju peternakan Paman Donald. Agar kenyang perutnya, agar tenang tidurnya. Tak seperti di kepala Mak Ngah, yang ramai doa makan.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun