Bab 1
Ini 2176, saat-saat bumi mulai menunjukkan kuasanya dan manusia hanyalah remah-remahnya. Kekeringan di mana-mana, bahkan es di kedua kutub sudah lama mencair dan hilang tak berjejak. Tapi, manusia ialah manusia, ia tak pernah kehilangan akal. Benar, sebagian besar dari mereka telah kenyang akan penderitaan. Namun, sebagian kecil manusia lainnya, si pemilik piramida teratas memiliki banyak hal untuk mempertahankan hidup, kuasanya, dan juga keturunannya.
....
Perjalananku kali ini cukup panjang. Dengan menumpang kereta express- FGZ, perjalanan tiga belas hari hanya tersisa tiga jam saja. Sangat-sangat cepat. Bahkan kereta ini hampir-hampir tak menyentuh tanah, lantai, maupun bumi. Kereta ini menggantung begitu saja di langit-langit sesuai jalurnya.
Tujuanku jelas, aku hendak mengunjungi MTsN 2 Situbondo. Sebuah sekolah yang kini menjadi kiblat segala kekinian ini. Oh, tentu saja tujuanku bukan untuk tercengang-cengang menatap gedung-gedung megah dengan konsep go green di sekolah tersebut. Tujuanku lain. Ahh, nanti juga kau akan tahu.
Sembari menunggu, aku mengingat-ingat kembali perkataan Kolonel Rei, "Segera lah menuju MTsN 2 Situbondo dan selamatkan yang tersisa!"
Ahh, lelaki paruh baya itu membuatku cemas saja. Aku tahu bumi memang sedang jumawa, ia mulai pilih kasih. Tapi ... apakah memang sudah sedarurat itu?
Huh! Aku menarik napas cepat-cepat. Di depanku duduk-duduk sepasang manusia renta, yang entah bagaimana bisa menaiki kereta elit ini.
Fyuh, apa kau tahu di masa ini orang-orang kaya terlihat dari kulitnya yang tak pernah kerontang. Sebab, mereka memiliki air bumi yang cukup untuk mandi berkali-kali. Pun dengan stock klorofil pada tiap-tiap ruangan di rumah mereka yang akan menyemprot otomatis tiap-tiap dua puluh menit. Klorofil itu lah yang mengekalkan umur mereka dan mengukuhkan keturunan mereka.
Kuakui, aku bukan salah satu dari orang-orang kaya tersebut. Tapi entah bagaimana, bumi memilihku untuk menjadi salah satu serdadunya. Maka, kekal lah aku dengan kulit selembut pohon pisang, kekuatan sekukuh pohon durian, dan kebermanfaatan serupa pohon kelapa.
"Akan kuselesaikan misi ini," bisikku  sembari mengacak-acak rambut. Tak lama kemudian mataku menatap jauh ke bawah jendela kereta. Tampaklah kaum mayoritas dengan segala kebusukan kulitnya. Bukankah itu telah menjadi hal biasa? Lalu apa bedanya?
Kuperhatikan betul-betul dengan kemampuan pohonku, kota di bawah ini telah benar-benar babak belur. Hei, tapi-tapi mengapa beberapa di antara mereka malah berdiri dengan tangan membentuk huruf X.