Pagi ini, lagi-lagi aku mengaburkan diri dari rombongan. Mau tak mau selepas break seminar hari ini, aku menguatkan diri menuju stasiun Atocha-Renfe, Madrid.
Tujuanku jelas, menuju Toledo. Suatu negeri dongeng. Negeri para peri bersayap aneka warna. Tempat di mana kau bisa raib sementara. Atau sekedar terlelap di tempat yang sebenarnya. Bayangkan kau bermimpi tapi sesungguhnya kau memang berada dalam negeri dongeng.
Aku ingin merasakannya. Sangat ingin.
Kau, lelaki tak bernama. Setidaknya, kali ini penuhi mimpiku kembali.
Hanya tiga puluh menit di dalam kereta, pada akhirnya kakiku menginjak stasiun Toledo. Kali ini aku tak ingin berlama-lama berada di stasiun. Aku bergegas menuju tujuanku. Sebab, waktuku tak banyak. Sebab, aku ingin mencipta jejak untuk kau susuri pada suatu kelak. Begitulah.
Pernahkah kau membaca sebuah buku yang berjudul Lord of The Ring? Mungkin sedikit banyak begitulah Toledo. Mengagumkan, penuh dengan alam khayalan.
Aku tersesat dalam labirin Toledo. Lebih tepatnya menyesatkan diri untuk menyatu pada sejarah ribuan tahun lampau. Kupejamkan mataku sambil meraba tembok bangunan tua yang berjejer.
Toledo, kota tua yang telah sibuk sejak jaman Romawi, seratus sembilan puluh dua sebelum masehi. Bayangkan, bagaimana tak berada di negeri dongeng jika kau mampu merasakannya, tidak hanya melalui matamu tapi juga hatimu. Rasakanlah. Bayangkanlah. Berimajinasilah sesukamu. Kau lah pelakunya sekarang. Kau lah sutradaranya.
Pada suatu pejaman mata. Aku melihatmu mencari-cari jejak yang tersisa dariku. Kau juga menutup matamu seperti yang tengah aku lakukan. Pelan, samar-samar kau sebut namamu. Keras, berteriak kau lantangkan namamu.
"Nald!"
Seketika aku tersentak dan kesulitan bernapas. Aku memegang dadaku. Membuat sepasang turis Asia yang kebetulan lewat segera memberikanku pertolongan. Sebab sesudahnya aku pingsan.
***
Aku kembali ke Madrid tepat pukul sepuluh malam. Teman-temanku para peserta seminar serempak menghampiriku tatkala melihat kedatanganku.
Nampaknya mereka telah diberitahu mengenai kepingsananku di kota yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
Aku memang tak pernah bercerita kepada siapapun mengenai mimpi-mimpi yang menghantuiku sejak kelas satu sekolah menengah atas.
Hanya kepada Jen yang aku anggap paling memahamiku lah aku siap bercerita. Tapi dengan yang lainnya aku tak bisa, tak siap dan pula tak sanggup. Bahkan tidak dengan mamaku yang sesungguhnya paling dekat denganku.
Sebab perkara ini lain, berbeda dari apapun. Ini perkara keyakinan akan sesuatu yang kau anggap benar dan ada. Padahal tak siapapun merasakan dan mengalaminya. Lalu bagaimana siapapun itu akan mengerti mengenai perkaraku.
Sebab perkara ini hanya bisa aku pahami sendiri, sendirian. Aku akan menyelesaikan perkara ini hingga aku lelah selelah-lelahnya.
Sebab perkara ini tentang psikologi dirimu sendiri, diriku sendiri lebih tepatnya. Bagaimana aku memahami diriku sendiri, bahkan pada bagian terkecil dari diriku.
Sebab itu saat ini teman-temanku menaruh wajah-wajah penasaran di depanku. Lalu wajah-wajah itu berubah menjadi wajah-wajah yang aku benci, mengasihaniku.
***
Keesokan harinya sehabis seminar dengan diantar oleh salah satu peserta seminar yang juga warga asli Madrid, aku pun melanjutkan perjalananku menuju Segovia.
Kereta bermula dari stasiun Chamartin, Madrid menuju stasiun Guiomar. Hanya dengan tiga puluh menit kami telah tiba di Segovia, sebuah kota nan mungil. Kota ini berada di barat laut Madrid. Memiliki kastil Cinderella bernama Alcazar Segovia.
Rio, nama peserta seminar yang menemaniku. Dia seorang pria berbadan seksi. Tampan dan menawan itulah dia. Sejak awal seminar di Paris dia sudah beberapa kali mengajakku ke luar, berkencan.Â
Namun, aku selalu menolaknya. Bukannya aku tak tertarik dengannya, hanya saja dia datang di waktu yang tak tepat. Dia datang tatkala aku sedang berjuang memperjuangkan diri sendiri bahwa aku tidak gila.
Rio mengajakku berkeliling Segovia. Aku tak mampu lagi menggambarkan bagaimana keindahan kota mungil ini. Yang aku tahu pikiranku sibuk meletakkan jejak tanpa sepengetahuan Rio.
Lelah berputar-putar Rio membawaku ke Plaza Mayor. Disini banyak berjejer caf, kau tinggal memilihnya.
Setelah mendapatkan cafe yang sesuai keinginanku, Rio memesankan makanan yang sekiranya bisa kumakan sebagai muslimah.
Rio menanyakan wajahku yang seperti orang depresi. Aku hanya menjawab sedang kecapekkan, karena belum pernah berkeliling Eropa. Lalu tanpa kuduga, ia mengambil tanganku dan menggenggamnya erat. Aku sungguh shock.
"Dea, will you marry me?"
Aku segera menarik tanganku. Memandang wajah kagetnya dan pergi meninggalkannya. Sungguh tidak sopan.
Mau bagaimana lagi. Aku belum siap untuk menjadi seorang istri. Aku masih dipenuhi oleh lelaki dalam mimpi, oleh Nald.
Dengan gontai aku melajukan diri menuju stasiun. Menunggu Kereta selama satu jam. Diam-diam tanpa aku sadari, air mataku mulai berjatuhan. Seperti hujan deras.
Apakah aku begitu bodohnya mengejar seseorang yang mungkin saja hanya mimpi, tak benar-benar ada.
Apakah aku begitu bodohnya mencari-cari jejak seseorang yang mungkin saja tak pernah melakukan hal yang sama.
Apakah aku begitu bodohnya menolak lamaran pria sebaik Rio.
Kurasakan bahuku diremas oleh sebuah tangan. Aku menoleh. Kudapati Rio dengan wajah mendung menggelengkan kepalanya. Mungkin maksudnya, "Cukup Dea, cukup!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H