Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

EPOCH - Cerpen Dian Chandra

12 Juni 2023   12:02 Diperbarui: 12 Juni 2023   12:47 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cepat-cepat ia menutup hidungnya dengan sapu tangan yang telah ia sisipkan di saku jaket. Kemudian ia melihat ke sekitarnya, ia temukan sebatang ranting kering.

"Ranting ini cukup kuat untuk menyingkirkan gembok," ujarnya sembari menimbang-nimbang ranting. Benar saja, tatkala ranting kering menyentuh gembok yang hampir tak berbentuk itu, seketika pintu gerbang pun terbuka.

Wanita itu terkekeh, kakinya mulai melangkah masuk sembari menyeret karung goni.

Kali ini ia cukup kesulitan, terlalu banyak makam dan sampah alam, seperti dedaunan kering, ranting, dan pohon tumbang. Sehingga ia benar-benar harus berhati-hati.

Pada akhirnya tekadnya yang kuat itu membawanya pada tujuannya. Kini ia telah berada pada sebuah makam tua berbentuk bangunan kokoh setinggi satu meter, di atas nisan terdapat patung menyerupai makhluk bertanduk tiga dengan sayap di punggung.

Wanita itu melepaskan bawaannya tepat di depan makam tua itu, tangannya sibuk membersihkan nisan dari debu, dedaunan, dan ranting kering. Saat nisan telah benar-benar bersih, sebuah nama menyembul, EPOCH.

Wanita itu pun tersenyum. Dirogohnya saku jaket, sebatang rokok pun kini telah berpindah ke bibir ranumnya. Lama niyan ia menghisap gulungan tembakau itu, ia menikmati benar tampaknya.

Sesaat setelah rokoknya habis, ia pun membuka ikatan tali pada karung goni. Keluarlah sesosok laki-laki yang bukan hanya sudah tak berdaya, rupanya juga telah lama mati.

Wanita itu kembali terkekeh. Namun, kali ini matanya tajam menatap ke dalam sepasang mata milik patung yang masih tampak berdiri kokoh. Mulut wanita itu mulai bergerak-gerak, "Hai, Sang Penguasa Kegelapan! Kupersembahkan keturunan Qens. Makanlah jiwanya semaumu!"

Ia berhenti sejenak untuk melihat ke sekelilingnya. Tak ada reaksi apapun, hanya ada angin yang menerbangkan dedaunan dan ranting-ranting pohon. Pemakaman itu masih dipenuhi oleh makam-makam tua bersama penghuninya, keturunan dari Qens dan Sarah.

 Merasa ia hanya sendirian, dilanjutkanlah gerakan mulut yang lebih menyerupai teriakan itu, "Biarkan burung gagak, cacing, belatung, dan hewan kotor lainnya memakan raganya ...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun