Pemahaman yang baru tentang kota dan ruang publik saya dapatkan ketika saya bertemu dengan Kang Emil, jauh sebelum beliau menjadi walikota Bandung. Beliau mengatakan bahwa kota yang baik itu indikatornya sangat mudah. Ketika warga kota mau keluar rumah dengan suka cita, dan mendapatkan ruang untuk berinteraksi dengan warga lainnya. Ketika interaksi di ruang publik itu terjadi, maka indeks kebahagiaan akan meningkat dan mengurangi stress yang sering dialami warga kota. Dalam jangka panjang, kriminalitas dan kekerasan akan menurun seiring dengan meningkatnya indeks kebahagiaan warga kota.
Warga Bandung mungkin beruntung mempunyai pemimpin yang sangat paham akan kebutuhan ruang publik. Dan beruntungnya Bandung adalah, taman-taman masih sangat banyak dan luas, walau menghidupkan dan merawatnya menjadi tantangan tersendiri. Tapi bagaimana dengan kota yang pemerintahannya kurang perhatian atau setidaknya kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ruang publik? Bagaimana dengan kota-kota yang mempunyai lahan terbuka yang terbatas karena pertumbuhan bangunan? Di sinilah dibutuhkan sebuah anarkisme dalam menikmati ruang publik. Anarkisme? Ya, anarkisme. Kekerasan? Tentu tidak.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya akan mengklarifikasi tentang anarkisme ini. Anarkis adalah inisiatif yang muncul dari individu atau kelompok yang menggerakkan masyarakat karena kekosongan peran pemerintah. Jadi sifat anarki tidak harus diasosiasikan dengan kekerasan. Inisiatif-inisiatif ini yang harus ditimbulkan dari masyarakat jika pemerintah masih kesulitan dalam dalam memenuhi kebutuhan ruang publik. Saya ingin menggeser paradigma bahwa penyediaan ruang publik bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun juga menjadi bagian dari tanggung jawab, korporasi, komunitas, bahkan individu. Seperti yang sering dikatakan oleh Kang Emil, your city, your responsibility.
Ruang dan Aktifitas.
Apa hal yang paling dibutuhkan dalam membuat ruang publik? Ruang. Ya, ruang atau lahan adalah elemen terpenting dalam membuat ruang publik itu sendiri. Jika masih banyak taman, kota itu sangat beruntung. Namun bagaimana jika ruang yang dimiliki pemerintah itu terbatas? Dibutuhkan sikap-sikap anarki dalam pembuatan ruang itu sendiri. Jika kita melihat lebih teliti di kota kita masing-masing, masih banyak terdapat lahan kosong yang bisa dijadikan ruang untuk publik. Masalahnya, tidak semua ruang itu milik pemerintah. Ada yang dimiliki oleh perusahaan, BUMN, instansi pemerintah dan militer, atau dimiliki oleh individu-individu. Lahan-lahan tersebut harus “dipinjam” sesaat untuk bisa dinikmati oleh publik. Contoh yang paling mudah adalah Car Free Day (CFD). CFD yang awalnya diinisiasi oleh beberapa organisasi, kini mulai dilegalkan oleh pemerintah. Bahkan di beberapa kota, CFD diinisiasi oleh pemerintahnya. Kita patut bersyukur untuk itu.
Setelah ruang itu didapatkan, ruang tersebut harus diisi oleh aktifitas agar publik tertarik untuk datang ke tempat itu. Berkumpulnya publik ke ruang inilah yang menciptakan interaksi. Inilah tujuan dari sebuah ruang publik yaitu terjadinya interaksi yang menyenangkan. Solusi termudah dalam menciptakan sebuah aktifitas di ruang publik adalah mengajak komunitas yang ada di sekitar ruang itu. Pada dasarnya, komunitas membutuhkan tempat yang nyaman dan gratis untuk bertemu dan menggelar aktifitasnya, dan di sisi lain, ruang publik membutuhkan pengelola yang mempunyai aktifitas rutin dalam menghidupkannya.
Komunitas dan Kreatifitas