ilustrasi - Antara Foto
*) Kisah Sukses Para Mantan Petani Ganja di Aceh
Sulit dibantah bahwa Aceh  adalah daerah penghasil ganja di Nusantara. Kondisi geografis Aceh yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil membuat tanaman canabis sativa ini mampu tumbuh subur. Jika satu hektar ladang ganja menghasilkan 100 kilogram ganja siap pakai dengan harga lokal Rp. 200 ribu per kilogram, maka sekali panen bisa menghasilkan Rp. 20 juta. Masa panen tanaman ganja per tiga bulan sekali.
Padahal Aceh dikenal sebagai daerah yang menerapkan pelaksanaan Syariat Islam. Karenanya, ada fatwa MUI Aceh yang mengharamkan menanam, mengedarkan dan  memakai/mengonsumsi ganja.
Yang membuat publik merasa aneh, kok Pak Wagub Aceh Muzakir Manaf malah punya gagasan konyol menawarkan kepada pengusaha dan investor asing dari beberapa negara untuk mengelola Ganja dan Babi. http://newsaceh.com/2016/04/22/wagub-aceh-tawarkan-investor-asing-kelola-ganja-dan-ternak-babi-di-simeule/
Sangat naïf, jika gagasan Muzakir Manaf yang akrab disapa Muaem ini hanya lantaran perhitungan ekonomi kelas warung kopi, yaitu satu hektar ladang ganja menghasilkan 20 juta per sekali panen?Â
Tapi benarkah petani, pengedar maupun kurir ganja di Aceh bisa cepat kaya? Ternyata tidak. Mantan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar yang kemudian digantikan Mualem pernah berujar, petani ganja jauh lebih miskin dibandingkan petani produk pertanianlainnya yang legal. Sebab, umumnya para petani ganja ini hanya pekerja dari cukong.
Mualem tidak hanya lupa pada fatwa MUI Aceh. Mantan Panglima GAM ini mungkin belum pernah baca success story para petani kokain di Amerika Utara yang difasilitasi PBB berhasil mengalihkan usaha illegal mereka ke produk pertanian lain dan peternakan.
Dari pada jauh-jauh ke Amerika Utara, ternyata di Aceh sendiripun sudah mengadopsi program PBB sejak 2007. Waktu itu Mualem belum duduk dipemerintahan, masih sibuk mendirikan partai lokal, Partai Aceh. Kendaraan politik inilah yang mengantar Zaini Abdullah dan Mualem ke kursi Gubernur dan Wagub Aceh periode 2012-2017.Â
Mulai tahun 2007 Badan Narkotika Provinsi (BNP) Aceh bekerjasama dengan berbagai pihak terkait berhasil menemukan dan memusnahkan puluhan hektar ladang ganja. Bersamaan dengan itu, BNP Aceh bekerja sama dengan sebuah LSM asal Thailand, Yayasan Me Fah Luang berhasil mengembangkan program alternatif development yang pilot project-nya dipusatkan di Desa Maheng, Kemukiman Lamteuba, dan Aceh Besar. Program yang sama pernah sukses dijalankan Me Fah Luang di Afghanistan. Konkretnya, ganja diberantas dibarengi dengan membangun ekonomi masyarakat dengan mengalihkan kegiatan masyarakat penanam ganja ke tanaman lain atau beternak.
Program ini diawali dengan membagikan ternak kepada masyarakat Desa Maheng,Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, dan bibit tanaman kepada masyarakat Kemukiman Lamteuba. Kemudian secara bertahap dikembangkan ke daerah lain yang juga banyak terdapat ladang ganja.