[caption id="" align="aligncenter" width="568" caption="PM Vanuatu (kanan) Saat Berkunjung ke Thailand pada Mei 2013 (militer.go.id)"][/caption]
Selama enam tahun terakhir (sejak 2008 hingga kini), negara Vanuatu selalu dilanda gejolak politik akibat persaingan para elit partai memperebutkan kursi Perdana Menteri. Gerakan mosi tidak percaya seakan menjadi agenda rutin tiap tahun di gedung parlemen. Maka tak heran kalau negeri itu sudah sembilan kali berganti kabinet dalam enam tahun terakhir.
Agenda yang sama juga terjadi akhir Pebruari lalu. Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Moana Carcasses Kalosil digoyang gerakan mosi tidak percaya dari mayoritas anggota parlemen. Gejolak itu khabarnya sudah reda, setelah Carcasses berhasil membalikan komposisi parlemen dari semula 27 : 25 (oposisi 27 anggota : koalisi pemerintah 25 anggota) menjadi 24 : 28. Caranya, Carcasses “menyuap” tiga kursi menteri kepada kelompok oposisi yang kemudian berbalik mendukungnya. Carcasses pun lolos dari lubang jarum.
Isu Papua merdeka
Mengapa isu politik di Vanuatu itu penting kita ketahui? Hal ini erat kaitannya dengan isu Papua merdeka dimana Moana Carcasses Kalosil boleh dibilang menjadi salah satu aktornya. Carcasses adalah satu-satunya pejabat resmi pemerintah yang secara terang-terangan men-suport kelompok yang menamakan dirinya koalisi pembebesan nasional Papua Barat (West Papua National Coalition Liberation / WPNCL). Organisasi ini berisikan para petualangan politik Papua merdeka yang tinggal di luar negeri. Seperti Ketua WPNCL Richar H Jouweni (orang Papua yang tinggal Australia), wakil ketua John Otto Ondowame dan beberapa pengurus WPNCL lainnya tinggal di Vanuatu. Penasehat politik WPNCL adalah Barak T Sope, mantan PM Vanuatu (1999-2001).
Bentuk suport Carcasses antara lain memperjuangkan WPNCL menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah organisasi kerjasama ekonomi negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan beranggotakan lima negara (Vanuatu, PNG, Fiji, Solomon Island, dan Kaledonia Baru). Indonesia masih berstatus observer. Dalam ambisi Carcasses, posisi Indonesia inilah yang mau digantikan oleh WPNCL, padahal klaim WPNCL bahwa ia mewakili kepentingan orang Papuan masih ditentang oleh berbagai kelompok di Papua. Lantas, atas dasar apa mereka menjadi anggota MSG?
Untunglah empat negara Anggota MSG tidak sependapat dengan Carcasses, sehingga keinginan WPNCL untuk menjadi anggota MSG kian pupus. Ini tidak lepas dari kerja keras Pemerintah Indonesia yang terus berupaya meyakinkan anggota MSG tentang bahaya yang mengancam kedaulatan Indonesia manakala WPNCL diakomodir menjadi anggota MSG. Maka dalam kunjungan delegasi MSG ke Jakarta pada Januari lalu (kecuali delegasi Vanuatu), mereka telah bersepakat mengakui Papua sebagai bagian dari wilayah kedaulatan RI.
Kendati demikian, Carcasses belum menyerah. Selasa (4/3/2014) Carcasses yang baru lolos dari ancaman kejatuhannya dari kursi perdana menter sudah berdiri tegak di mimbar PBB memberikan pidato pada Sidang Tahunan Dewan HAM PBB ke-25 di Jenewa, Swiss. Dari situs resmi United Nation, fokus dari pidato PM Vanuatu ini terdiri dari dua hal penting. Pertama, tentang masalah hak masyarakat adat di negaranya dan kedua berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
“Negara saya dalam forum ini hendak menggemakan apa yang menjadi keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Kami sangat prihatin tentang cara dan sikap komunitas internasional yang mengabaikan suara orang Papua, yang hak asasinya telah diinjak-injak dan secara keras ditekan sejak tahun 1969,” ujarnya.
Namun Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Melalui delegasinya yang dipimpin Dian Triansyah Djani (Wakil Tetap RI untuk PBB), Indonesia meminta PBB untuk tidak terkecoh oleh pernyataan semacam itu. Indoneisa akan terus melanjutkan agenda demokrasinya termasuk memajukan dan menghormati hak asasi manusia seluruh warganya.