Mohon tunggu...
Hamid Ramli
Hamid Ramli Mohon Tunggu... lainnya -

Aktivis Lingkungan ingin berkiprah di bidang politik lokal agar kelestarian lingkungan tetap terjaga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Datang ke Papua, Al Jazeera Ingin “Tebus Dosa”

26 November 2014   19:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:47 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_356209" align="aligncenter" width="496" caption="ilustrasi : Bloomberg"][/caption]

Bangsa Indonesia tentu masih ingat tayangan film pendek di televisi A Jazeera awal tahun 2013 lalu tentang Papua. Selama sepekan (30 Januari hingga 5 Pebruari 2013) stasiun televisi yang berpusat di Qatar itu berulang-ulang menayangkan “People and Power : Investigates one of the world most forgotten conflicts”. Sepanjang tayangan, kita akan merasakan sekali arahan dari seorang sutradara bahwa film ini harus mencekam. Betul-betul sebuah film, tidak ada tanggapan penyeimbang di lapangan seperti layaknya produk jurnalistik.

Tayangan itu mendapat reaksi keras dari Pemrintah Indonesia. Melalui Penasehat Senior Wakil Presiden Indonesia, Prof. Dewi Fortuna Anwar dalam wawancara bersama TV Al Jazeera (1/2/2013) menyatakan bahwa Papua tidak seperti yang diberitakan dalam film itu.

Sadar akan “dosa” yang pernah dibuatnya sendiri, saat ini rombongan Al Jazeera sedang berada di Papua dalam sebuah kunjungan jurnalistik resmi. Mereka terdiri dari Stephanie, warga kebangsaan Belanda selaku koresponden Aljazeera, Syarina Hasibuan, koresponen Aljazeera di Indonesia dan Bobby Nugroho, juru kamera Aljazeera di Indonesia. Selasa (25/11/2014) mereka bertemu Pimpinan Polda Papua, diterima Kabid Humas Polda Papua, Kombes (Pol) Sulistyo Pudjo Hartono, bersama sejumlah pejabat Polda Papua.

“Papua sangat maju dibandingkan ketika masih zaman penjajahan Belanda, yang mana sekarang sudah ada Dokter, Doktor maupun Profesor yang disandang orang Papua. Memang kadang, perlu pendekatan lebih,” kata Kabidhumas saat menyapa para tamunya dari Al Jazeera.

“Jadi saya jelaskan kepada mereka bahwa secara umum situasi Papua itu kondusif, kecuali ada penonjolan karakteristik di Papua. Contohnya, adanya konflik-konflik kecil, perang suku, konflik tanah dan konflik antar Kelompok Kriminal Bersenjata, tetapi cukup mengganggu kamtibmas,” kata Kabidhumas sebagaimana diwartakan JPNN.com hari ini (26/11/2014).

Untuk penanganannya, papar Pudjo, pihak Kepolisian mengedepankan langkah soft atau pendekatan dengan mengedepankan humanisme untuk menangani berbagai masalah di Papua. Langkah ini sudah dianggap cukup berhasil, yang mana gangguan-ganggan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata saat ini tidak dilakukan secara intens melainkan hanya secara sporadic.

“Elemen-elemen di Papua yang sering menamakan diri kelompok kriminal bersenjata, senjatanya sangat sadis dan penindakannya di atasi secara khusus. Namun kami selalu tangani mereka dengan pendekatan terlebih dahulu,” kata Pudjo.

Ia juga menerangkan bahwa masalah yang selama ini terjadi di Papua, kebanyakan di latarbelakangi masalah pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan. Sedangkan masalah keamanan sudah menjadi bagian seluruh dinamika yang ada di Papua. Pudjo juga mengakui telah melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para pelaku KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) yang mengganggu di wilayah Pegunungan.

“Khusus untuk masalah KKB memang dikedepankan dengan masalah kesejahteraan. Para pelaku kejahatan, harus mendapatkan upayakan penegakan hukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya,” tandasnya.

Lebih Berimbang

Mudah-mudahan setelah berkunjung ke Papua, Al Jazeera bisa lebih obyektif dalam pemberitaan tentang Papua. Bahwa Papua tidak seperti yang mereka dengar dari para juru kampanye yang tengah berjuang untuk memisahkan Papua dari wilayah kedaulatan NKRI.Dan lebih-lebih bahwa kunjungan jurnalistik ke Papua tidak sesulit yang diberitakan orang di luar sana. Pemerintah Indonesia sangat akomodatif terhadap kepentingan media, termasuk media asing tentang Papua.

Hanya saja (sebagaimana juga berlaku di semua negara), jika ingin meliput ke Papua mesti dilengkapi paspor dan visa resmi, bukan menyalahgunakan visa turis untuk melakukan peliputan seperti yang dilakukan Jurnalis Prancis (Thomas Charles Tendeis dan Valentine Bourrat) yang tertangkap di Wamena awal Agustus lalu. Sementara pada Mei 2014, Mark Davis, jurnalis senior dari SBS TV Australia bisa meliput di Papua dengan visa resmi, bahkan diterima oleh Menlu RI untuk melakukan wawancara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun