Mohon tunggu...
Haqqi Idral
Haqqi Idral Mohon Tunggu... Mahasiswa - warga sipil

tulisan sisa sengsara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah "Mending Investasi Kripto daripada Sekolah", Bukti SDM Kita Rendah?

1 Mei 2024   09:26 Diperbarui: 1 Mei 2024   21:59 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
freepik/freemufilms

Akhir-akhir ini jagat dunia maya dihebohkan dengan postingan semacam "Mending Main Kripto daripada Sekolah". Tak hanya itu, ada pula postingan seperti "Kuliah adalah pengangguran dengan gaya", dan masih banyak lagi. Mungkin tidak perlu sebut sumbernya dari platform apa. Intinya postingan semacam itu seakan membawa narasi "Sekolah itu ngak penting, yang penting cuan", begitulah kasarnya.

Masyarakat Indonesia yang berpredikat sebagai Netizen Paling Tidak Sopan (menurut Digital Civility Index) pun langsung bereaksi keras. Postingan semacam tersebut banjir komentar dari kedua pihak. Pihak yang kontra mengatakan bahwa "Tujuan kuliah adalah untuk memperbesar kemungkinan kesuksesan seseorang", pihak satu menimpali "Lah Mark Zuckerberg yang ngak kuliah aja bisa kaya raya, ngapain kuliah". Rasanya sikap orang Indo yang lebih suka nyinyir di medsos perlu dibenahi agar bisa saling menghargai.

Investasi Kripto di Indonesia

Sebenarnya aktivitas investasi kripto bukanlah hal baru di Indonesia. Tak seperti investasi emas ataupun tanah, investasi kripto tidak berbentuk fisik sehingga membuat sebagian orang tidak nyaman. Investasi ini juga bersifat fluktuatif (nilainya dapat naik-turun dengan cepat) dan regulasi yang masih dalam pengembangan. Namun bukan itu poin keresahan para netizen di postingan tersebut. Persepsi investasi kripto yang bisa menghasilkan keuntungan dengan cepat disinyalir oleh beberapa pihak sebagai ajakan hingga berujung ujaran untuk tidak perlu sekolah-fokus main kripto saja.  

Padahal dibalik itu semua, masih banyak saudara kita yang belum berkesempatan melanjutkan studi karena kondisi yang tidak memungkinkan. Memang tak harus bersekolah formal untuk bisa mencari ilmu, namun bila kesempatan itu masih ada-lebih lagi orang tua masih menyanggupi, maka tidak ada salahnya untuk bersekolah.

Saya pribadi sebetulnya tak mempermasalahkan seseorang mau investasi emas, main kripto, ataupun enggan bersekolah, itu hak mereka. Toh bila dengan semua hal tadi mereka bisa belajar memanajemen uang dan mendapat ilmu, itu malah bagus. Namun menjadi masalah tatkala hal yang semacam ini justru mendiskreditkan sesuatu yang lain, yang dalam hal ini adalah sekolah (formal).

"Tapi kan banyak para milyader dunia yang justru sukses gara-gara ngak sekolah." Eh kalian pikir mereka sukses karena ngak sekolah? Ya ngak lah, mereka sukses karena mau berusaha dan terus belajar, selain itu mana ada mereka ngabisin waktu buat nyalahin ini-itu. Mereka (orang sukses) ngak sekolah karena memang mau bener-bener fokusin diri ke bisnis dan usaha mereka, lah sedangkan kita cuma sibuk komentar-ngejelekin orang yang sekolah padahal usahanya aja nol (bukan generalisasi).

Motivation is Bullshit?

Berbicara motivasi tentu berhubungan dengan aspek emosi dan logika. Mudahnya motivasi timbul akibat adanya pemicu, yang berujung pada dorongan untuk sampai pada tujuan tertentu. Maka motivasi dikatakan baik bilamana ia seimbang dengan tindakan realistis. Sayangnya tak semua motivasi akan selalu baik, termasuk bila mendapat motivasi berlebih hingga terlena melupakan aksi.

Nampaknya fenomena "Mending main kripto daripada sekolah" bermula dari konten di medsos. Dari beberapa hasil postingan dan komentar, mereka banyak menyebut nama influencer kripto yang menjadi panutan mereka. Memang dalam beberapa konten mereka (para influencer) secara eksplisit mengajak untuk fokus saja belajar investasi kripto, termasuk untuk ngak usah sekolah.

Tak hanya sekedar mengajak, mereka para influencer juga kerap membagikan hasil kesuksesan mereka-buah dari investasi kripto, entah itu pamer gaya hidup mewah ataupun pamer mobil McLaren misalnya. Selain itu para insfluencer tadi biasa memberikan motivasi, tips dan trik, hingga memperlihatkan testimoni positif dari beberapa pemain kripto. Dari sinilah awal mula orang-orang tertarik untuk belajar investasi kripto.

Sebetulnya sampai di sini tidak ada masalah yang berarti, karena memang para influencer- konten kreator tadi hanya membuat konten dan adsense, sisanya terserah netizen. Namun justru karena konten motivasi itulah yang juga menjadikan banyak pemain baru terjatuh dalam ketidaksiapan. Mereka (netizen fomo) yang sudah terlanjur termotivasi berhasrat cepat kaya, langsung menghabiskan uang mereka demi berinvestasi kripto tanpa melihat dampak setelahnya.

Memang saya bukan ahli di bidang ekonomi, namun seharusnya semua orang mesti tahu bila yang namanya investasi ya harus pakai uang dingin (bukan untuk keperluan primer) bukannya uang panas. Simplenya, bila kebutuhan sehari-hari ialah 100 ribu, ya jangan semuanya dipakai buat investasi, penuhi kebutuhan primer terlebih dahulu. Karena tidak setikit orang yang mulai investasi justru jorjoran-pakai uang panas pula, lebih parah lagi mereka yang berpenghasilan rendah. Iya kalau trafficnya lagi bagus, tapi kalau pas lagi anjlok, selesai itu uang yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.

Saya ada teman kuliah yang kebetulan juga main kripto, ia sendiri mengunakan aplikasi Pintu. Ia pun mengaku termotivasi dari konten-konten influencer yang bagi dirinya keren jika bisa sukses di usia muda berkat investasi kripto. Sebagai anak kuliahan yang serba berkecukupan, ia mengaku belajar kripto hanya untuk memutar uang saja, karena memang motifnya untuk belajar berinvestasi, bukan dijadikan sebagai sumber penghasilan. Ia juga turut prihatin kepada sesama pemain kripto lainnya, yang menurutnya fomo sehingga menjatuhkan instansi sekolah sebagai biang ketidaksuksesan seseorang.

Belajar Menghargai, Bukan Malah Sibuk Ngehujat 

Menurut saya, semua fenomena di atas adalah netral. Menjadi baik-buruk tergantung bagaimana dalam menyikapi, dan akan menjadi lebih buruk bila satu pihak merugikan dan mendiskreditkan pihak yang lainnya. Maka dalam hal ini semestinya kita bisa saling menghargai suatu perbedaan, karena pada dasarnya perbedaan mutlak terjadi pada manusia. Menyalahkan dan tidak setuju boleh, tapi jangan sampai menghina dan menjelekkan.

Ingat... SDM kita sering dipandang rendah, entah itu berdasarkan asumsi semata ataupun riset indikator (PISA, tingkat pengangguran, Indeks Pembangunan Manusia). Akhirnya daripada sibuk ngehujat sesama warga Indo, mending fokus tingkatin skill dan kompetensi diri. Jangan berharap adanya Indonesia Emas 2045 kalau SDM kita saja berisikan manusia yang bingung masa depan. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun