Mohon tunggu...
Haqqi Idral
Haqqi Idral Mohon Tunggu... Mahasiswa - warga sipil

tulisan sisa sengsara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah "Mending Investasi Kripto daripada Sekolah", Bukti SDM Kita Rendah?

1 Mei 2024   09:26 Diperbarui: 1 Mei 2024   21:59 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
freepik/freemufilms

Sebetulnya sampai di sini tidak ada masalah yang berarti, karena memang para influencer- konten kreator tadi hanya membuat konten dan adsense, sisanya terserah netizen. Namun justru karena konten motivasi itulah yang juga menjadikan banyak pemain baru terjatuh dalam ketidaksiapan. Mereka (netizen fomo) yang sudah terlanjur termotivasi berhasrat cepat kaya, langsung menghabiskan uang mereka demi berinvestasi kripto tanpa melihat dampak setelahnya.

Memang saya bukan ahli di bidang ekonomi, namun seharusnya semua orang mesti tahu bila yang namanya investasi ya harus pakai uang dingin (bukan untuk keperluan primer) bukannya uang panas. Simplenya, bila kebutuhan sehari-hari ialah 100 ribu, ya jangan semuanya dipakai buat investasi, penuhi kebutuhan primer terlebih dahulu. Karena tidak setikit orang yang mulai investasi justru jorjoran-pakai uang panas pula, lebih parah lagi mereka yang berpenghasilan rendah. Iya kalau trafficnya lagi bagus, tapi kalau pas lagi anjlok, selesai itu uang yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.

Saya ada teman kuliah yang kebetulan juga main kripto, ia sendiri mengunakan aplikasi Pintu. Ia pun mengaku termotivasi dari konten-konten influencer yang bagi dirinya keren jika bisa sukses di usia muda berkat investasi kripto. Sebagai anak kuliahan yang serba berkecukupan, ia mengaku belajar kripto hanya untuk memutar uang saja, karena memang motifnya untuk belajar berinvestasi, bukan dijadikan sebagai sumber penghasilan. Ia juga turut prihatin kepada sesama pemain kripto lainnya, yang menurutnya fomo sehingga menjatuhkan instansi sekolah sebagai biang ketidaksuksesan seseorang.

Belajar Menghargai, Bukan Malah Sibuk Ngehujat 

Menurut saya, semua fenomena di atas adalah netral. Menjadi baik-buruk tergantung bagaimana dalam menyikapi, dan akan menjadi lebih buruk bila satu pihak merugikan dan mendiskreditkan pihak yang lainnya. Maka dalam hal ini semestinya kita bisa saling menghargai suatu perbedaan, karena pada dasarnya perbedaan mutlak terjadi pada manusia. Menyalahkan dan tidak setuju boleh, tapi jangan sampai menghina dan menjelekkan.

Ingat... SDM kita sering dipandang rendah, entah itu berdasarkan asumsi semata ataupun riset indikator (PISA, tingkat pengangguran, Indeks Pembangunan Manusia). Akhirnya daripada sibuk ngehujat sesama warga Indo, mending fokus tingkatin skill dan kompetensi diri. Jangan berharap adanya Indonesia Emas 2045 kalau SDM kita saja berisikan manusia yang bingung masa depan. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun