Sering kita mendengar produk minuman wine yang bisa bertahan hingga beberapa tahun bahkan puluhan tahun. Semakin lama disimpan maka semakin baik kualitas dan rasanya.Â
Tapi apakah berarti wine tidak akan kadaluarsa? Dari mana kita tahu bahwa wine sudah mengalami penurunan kualitas? Apakah kualitasnya selalu semakin tinggi seiring berjalannya waktu atau adakah kurva tertentu yang diikuti sehingga ada saat-saat puncak dimana wine menunjukkan sensori terbaiknya dan setelahnya mengalami penurunan baik penampakan, rasa, dan tekstur?
Dari berbagai macam jenis minuman beralkohol, wine mungkin salah satu yang paling populer setelah bir. Jika bir dibuat dari fermentasi barley atau malt, wine selalu dibuat dari fermentasi anggur.Â
Secara prinsip semua bahan makanan yang memiliki gugus karbohidrat atau gula dapat difermentasi menjadi minuman beralkohol. Sebut saja sake, minuman alkohol khas Jepang yang dibuat dari fermentasi beras. Umumnya rentang kadar alkohol untuk berbagai macam jenis minuman beralkohol yakni antara 5% sampai 60%. Bir sekitar 4-7% dan yang tertinggi vodka bisa sampai 40-50%.
Wine sendiri biasanya memiliki kadar alkohol antara 10-15% (Muchtadi, 2010).
Seperti semua bahan makanan dan minuman, wine tentu saja akan mengalami kerusakan seiring berjalannya waktu. Beberapa faktor diantaranya kerusakan karena paparan mikroba (walaupun pada wine tidak terlalu signifikan), fermentasi lanjut menjadi asam, dan faktor yang paling utama adalah reaksi oksidasi.Â
Reaksi oksidasi ini bersama dengan perubahan sensori adalah parameter yang paling sering digunakan untuk perhitungan umur simpan produk-produk wine. Lalu, bagaimana bisa ada produk wine dengan umur simpan yang begitu lama hingga puluhan tahun dengan rasa yang justru semakin enak?
Jawabannya tentu saja dengan teknik penyimpanan yang baik dimana dilakukan pengendalian suhu, kelembapan, dan kondisi-kondisi lainnya selama penyimpanan. Penyimpanan ini umum disebut sebagai cellaring (Cellaraiders, 2018). Tidak lupa kualitas awal anggur yang digunakan sebagai bahan baku juga harus yang terbaik. Produk-produk wine seperti ini disebut sebagai fine wine. Lebih lanjut, bagaimana caranya membedakan fine wine dengan wine biasa?
Paling mudahnya adalah dengan melihat harganya. Jika wine yang dibeli tidak lebih dari 30 dollar (kurang lebih 500 ribu rupiah untuk kurs saat ini) maka sebaiknya wine jangan disimpan terlalu lama. Wine biasa dapat diminum dengan rasa yang baik maksimal 2-3 tahun saja (Teeter, 2015). Pembuat wine sudah menghitung rasa terbaik akan keluar pada rentang waktu ini.
Jika dilihat dari sisi sainsnya, secara umum fine wine atau bahasa sederhananya "wine mahal" ini dibuat dari anggur merah dengan kadar tannin, keasaman, dan kadar gula tinggi. Wine dari anggur jenis ini akan terfermentasi perlahan sekali pada kondisi penyimpanan yang terkontrol dan membentuk rasa, tekstur dan aroma terbaik bahkan setelah bertahun-tahun/ puluhan tahun.Â
Kadar tannin tinggi berfungsi sebagai antioksidan dan memberi tekstur lembut dan bulat pada produk wine seiring waktu. Keasaman tinggi akan berkurang perlahan. Jadi, jika di awal kadar keasaman tidak terlalu tinggi maka penyimpanan yang lama justru berakhir dengan rasa wine yang hambar/ flat.
Untuk jenis red wine, beberapa yang bisa dibilang fine wine diantaranya Cabernet sauvignon, Merlot, Shiraz, Pinot Noit, Vintage Port dan untuk jenis white wine yakni Chardonnay, Chenin Blanc, Riesling (The Wine Society, 2020)
Ketika wine baru selesai diproduksi, rasa yang muncul umumnya fruity, citrus, sedikit vanila dan menyengat seperti umumnya minuman fermentasi. Namun wine yang disimpan lama akan muncul flavor yang lebih bulat, lebih kompleks dan lembut karena beberapa komponen fenol seperti tannin kadarnya akan cukup untuk tersuspensi dalam wine membentuk rantai kimia menjadi lebih besar dan kompleks (Krebiehl, 2018).
 Optimasi Umur Simpan
Oksidasi merupakan faktor utama kerusakan wine. Kadar oksigen pada produk wine berpengaruh pada kemampuan wine bertahan lama ketika disimpan. Oleh sebab itu pengaturan paparan oksigen saat pembuatan dan pengemasan berperan penting.Â
Faktor lainnya yakni pembentukan senyawa dimetil sulfida. Kelebihan senyawa ini dapat menutup rasa fruity pada wine sehingga mengurangi kualitasnya. Selanjutnya suhu penyimpanan. Umum diketahui bahwa suhu tinggi akan mempercepat reaksi kimia dan tentu saja mempercepat proses kerusakan.
Suhu optimal penyimpanan wine biasanya di bawah 10 derajat celcius atau paling maksimal di angka 13 derajat celcius (Vidal et al, 2018).
Oksigen merupakan faktor utama umur simpan wine. Oksigen yang terlarut dalam wine itu sendiri, kemudian oksigen ketika proses pengisian botol (bottling) dimana oksigen ini tertangkap pada bagian antara permukaan wine dan tutup botol, atau yang lebih sering disebut headspace. Oksigen yang terkompresi ketika proses bottling akan mengalami proses oksidasi dengan komponen fenol pada wine menjadi komponen lain salah satunya hidrogen peroksida (Vidal et al, 2018).Â
Hidrogen peroksida merupakan oksidator yang kuat, yang akan bereaksi dengan ethanol pada wine dan mengubahnya menjadi acetaldehyde dan komponen lanjutan fermentasi lainnya yang tidak diinginkan (Mercer et al, 2008).
Wine mesti disimpan pada ruangan sejuk, gelap, dengan suhu dan kelembapan yang terkontrol (tidak berubah secara signifikan). Beberapa sumber menyebutkan posisi botol ketika penyimpanan lebih baik secara horizontal untuk mencegah tutup (cork) mengering.Â
Sumber lainnya menyebutkan wine yang disimpan pada botol kaca dengan tutup crown cap akan lebih tahan lama dibanding dengan tutup biasa (natural cork, screw cap, dan material polimer) (Venturi et al, 2016).
Proses transportasi dari winery (tempat produksi wine) ke pasaran juga lebih kurang berpengaruh terkait dengan fluktuasi suhu saat di perjalanan. Paling mudah produsen biasanya membungkus wine dengan bubble wrap atau bahan lain supaya wine terlindung dari suhu panas dan cahaya berlebihan. Cara ini lumayan efektif untuk jangka waktu transportasi yang tidak terlalu lama (Mercer et al, 2008).
Wine yang diproduksi mengalami perubahan selama penyimpanan dengan melewati tahapan reaksi oksidasi oleh oksigen dari lingkungan melalui tutup botol (cork) yang terjadi secara perlahan.
Untuk mencegah proses oksidasi yang berlebihan, dalam pembuatan wine, lazim ditambahkan sulfur dioksida, SO2. SO2 akan bereaksi dengan peroksida hasil oksidasi fenol membentuk H2SO4, yang mana ketika larut  SO2 akan menjadi ion bisulfit HSO3- akan mengikat acetaldehyde yang tidak diinginkan (Vidal et al, 2018).
Faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi oksidasi adalah cahaya, panas, logam berat seperti CU, Fe, Co, Mn, serta logam porfirin seperti hemoglobin, myoglobin,klorofil, dan enzim lipoksidase serta senyawa-senyawa penghasil radikal bebas (Syarief, 1993).
Dalam penentuan umur simpan wine, laju oksidasi umum digunakan sebagai parameter. Dapat dilakukan dengan mengukur perubahan kadar SO2. Selain itu biasanya harus dilengkapi dengan pengukuran menggunakan parameter sensori seperti perubahan rasa, perubahan warna (browning), aroma dan tekstur. Untuk perubahan sensori mesti dilakukan oleh panelis terlatih  yang sudah paham dengan kualitas wine dengan memberi skor setiap kali melakukan pencicipan.
Penentuan umur simpan dapat menggunakan model Arrhenius yakni dengan cara mempercepat kerusakan dengan memberi perlakuan suhu di atas suhu penyimpanan normal, minimal tiga perlakuan suhu, untuk kemudian dilakukan prediksi umur simpan di suhu yang kita inginkan.
Untuk model yang digunakan sebenarnya fleksibel. Ada beberapa metode yang dapat digunakan tergantung dengan kondisi masing-masing produsen. Misalnya, Arrhenius hanya dapat dilakukan dengan asumsi perubahan faktor mutu ditentukan oleh satu macam reaksi saja, tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu, perubahan mutu bukan dari akibat proses-proses yang terjadi sebelumnya, dan suhu selama penyimpanan tetap (Syarief, 1993).Â
Jika pada praktek penyimpanan ternyata terjadi perubahan suhu, maka bisa menggunakan metode Q10 atau metode toleransi waktu suhu dengan data utama yang diperlukan yakni catatan suhu dari waktu ke waktu selama penyimpanan dan catatan lamanya penyimpanan pada setiap perubahan suhu untuk keduanya akan diproyeksikan pada kurva suhu versus waktu.
Untuk parameter kerusakan yang digunakan pun sebenarnya bisa dicoba lebih dari satu untuk kemudian ditentukan parameter mana yang paling memberikan perubahan signifikan selama waktu evaluasi.
Pertanyaan lanjutan yang sering muncul juga apakah ada pengaruh kesehatan bila kita mengonsumsi produk wine yang sudah kadaluarsa.
Kerusakan wine lebih kepada kerusakan sensori, bukan kerusakan mikrobiologis yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan (mual, muntah, pusing, keracunan, dsb) seperti jika mengonsumsi bahan makanan lain yang kadaluarsa. Tanggal kadaluarsa di produk-produk wine lebih menunjuk kepada kualitas wine yang sudah menurun dari sisi rasa (hambar), aroma (asam seperti cuka atau kadang menjadi seperti bau terbakar), warna (berubah warna menjadi terlalu cokelat atau menjadi bening kekuningan), tekstur yang menjadi lebih encer. Namun memang pada beberapa kasus ada yang merasakan tidak nyaman pada perut (Bjarnadottir, 2019).Â
Beberapa penelitian terbaru juga menyebutkan wine yang terpapar panas bisa memicu pembentukan ethyl carbamate, suatu senyawa karsinogenik, bergantung pada kadar urea awal pada produk wine (Bjarnadottir, 2019).
Saat ini banyak produk-produk olahan makanan atau minuman lain yang dikombinasikan dengan wine, salah satu yang menarik mungkin adalah produk es krim wine yang cukup populer saat ini (China Patent No. CN98112847A, 1998 ). Dibuat dengan menambahkan wine sekitar 10-15 % pada adonan es krim, produk ini menarik perhatian karena rasa wine yang ditawarkan, juga karena efek kesehatan, yakni adanya kandungan senyawa fenol dari wine yang dapat berperan sebagai antioksidan. Untuk penentuan umur simpan produk semacam ini mungkin agak sedikit lebih kompleks karena komposisi bahan lain pada es krim seperti susu skim dan gula, namun prinsipnya tetap sama yakni menemukan parameter kerusakan yang tepat.
Referensi:
China Patent No. CN98112847A. 1998. Thick Wine Ice Cream
Jackson, Ronald S. 2008. Wine Science: Principles and Application. Canada: Elsevier
Muchtadi Tien, Ayustaningwarno Fitriyono. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bandung: Penerbit Alfabeta
Syarief Rizal, Halid Hariyadi. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bandung: Penerbit Arcan
Mercer et al. 2008. The Shelf Life of Wine. University of New South Wales, University of Wellington, University of Limerick, CSIRO
Venturi et al. 2016. A Kinetic Approach to Describe The Time Evolution of Red Wine as a Function of Packaging and Storage Conditions. University of Pisa, Zhejiang Ocean University. Acta Alimentaria, Vol. 46 (3)
Vidal et al. 2018. Comparison of the effect of 8 closures in controlled industrial conditions on the shelf life of a red wine. 40th World Congress of Vine and Wine, Bio Web Conf. Volume 9: 2017
Bjarnadottir Adda. 2019. Does Alcohol Expire. (https://www.healthline.com/nutrition/does-alcohol-expire?apid=&slot_pos=article_1)
Cellaraiders. 2018. Why Wine Tastes Better with Age. (https://cellaraiders.com/blogs/news/why-wine-tastes-better-with-age)
Krebiehl, Anne. 2018. What Happens When Wine Ages. (https://www.winemag.com/2018/10/09/what-happens-wine-ages/).
Teeter, Adam. 2015. When Wine Isn't Meant to be Aged. (https://vinepair.com/wine-blog/wine-not-meant-aged/)
The Wine Society. 2020. How to Store Wine. (https://www.thewinesociety.com/how-to-store-wine. (https://www.thewinesociety.com/how-to-store-wine)Â
Sumber gambar:
http://www.elizabethany.com/2013/07/review-i-finally-tried-wine-ice-cream.htmlÂ
Tulisan ini juga dapat dibaca di blog pribadi saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H