Seruan bahwa pada tahun 2019 seluruh warga Indonesia harus tercover JKN itu tidak hanya omongan belaka.
Beberapa persyaratan administrasi layanan public atau lowongan kerja di lingkungan kementrian kesehatan mengharuskan peserta melengkapi dengan bukti kepesertaan JKN. Seperti yang saya alami bulan April lalu. Saya akhirnya resmi terdaftar sebagai peserta JKN mandiri pada bulan April 2016. Keputusan mendaftar ini memang tidak murni muncul dari keinginan sendiri, melainkan terkait keperluan pekerjaan. Kebetulan pada saat itu sedang mendaftar lowongan program jangka pendek yang dibuka oleh kementrian kesehatan.
Sebelum mendaftar JKN yang saat ini dikelola oleh BPJS Kesehatan, saya terdaftar sebagai peserta ASKES yang ditanggung oleh bapak saya yang saat itu masih PNS. Peserta ASKES memang otomatis terdaftar sebagai peserta, tapi bagi tanggungan PNS yang sudah lulus kuliah atau berumur lebih dari 20 tahun otomatis tidak tertanggung lagi.
Persyaratan untuk pendaftaran ini relatif mudah, karena kebetulan keluarga dalam kartu keluarga masing-masing masih tertanggung untuk JKN. Hanya perlu membawa fotocopy KTP, kartu keluarga dan buku rekening, foto berwarna ukuran 3 x 4 serta harus menyerahkan formulir yang sudah diisi. Tetapi proses pendaftaran sendiri yang cukup lama.
Saya awalnya tidak percaya kalau proses pendaftaran bisa sangat lama. Mungkin karena saya membandingkan dengan pelayanan publik serupa. Antrean pendaftaran pajak, bank, pembuatan KTP ataupun pelayanan public lainnya tidak akan memakan waktu hingga setengah hari. Saya datang ke kantor layanan BPJS memang agak siang, setelah meminta dan mengisi formulir saya mendapat antrean nomor 32. Tetapi hari pertama itu saya menyerah. Setelah melalui proses verifikasi berkas ternyata nomor antrean masih cukup jauh, sementara saya harus segera ke tempat kerja. Meskipun begitu niat saya tidak berhenti pada hari pertama itu, selanjutnya saya meluangkan waktu yang cukup untuk mendaftar.
Setelah melalui pendaftaran dan waktu tunggu 14 hari untuk pembayaran, selanjutnya proses pencetakan kartu. Pada saat cetak kartu ini menurut teman saya antreannya tidak lama seperti pendaftaran. Nyatanya memerlukan waktu yang lama juga, karena pencetakan kartu per keluarga yang telah didaftarakan, bukan  perseorangan. Jadi, pendaftar yang anggota keluarganya banyak butuh waktu yang lama untuk mencetak kartu.
Ide mencetak kartu ini hanya tiba-tiba terlintas, kebetulan kantor BPJS sementara yang baru pindah berada pada jalan yang saya lalui menuju tempat kerja. Antrean yang saya peroleh ketika datang pada pukul 09.00 adalah 54. Saya menunggu hingga pukul 10.30, tetapi antrean belum sampai juga. Akhirnya saya memutuskan untuk ke kantor dulu, kemudian balik lagi satu jam berikutnya. Dan ternyata antrean masih berjalan 10 nomor dari ketika saya meninggalkan kantor BPJS. Siang itu peserta yang sama tak sabarnya dengan saya banyak yang meninggalkan antrean, hingga akhirnya siang itu banyak nomor yang terloncati.Â
Ketika kartu berwarna hijau bertuliskan KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan bergambar peta Indonesia ada ditangan saya, sayapun merasa lega. Mengurus investasi melalui Gotong Royong BPJS Kesehatan ini memang tidak cukup hanya niat, tetapi harus dengan tekad yang bulat untuk siap dengan antrean.
Komitmen Gotong-Royong
Permasalahan pertama saya setelah menjadi peserta adalah soal komitmen membayar tepat waktu. Saya membayar iuran pertama JKN pada akhir bulan April, artinya tidak lama setelah itu harus membayar iuran kedua maksimal tanggal 10 pada bulan Mei. Tetapi pada bulan kedua saya hampir melupakan pembayaran ini, karena harus mengikuti pelatihan yang intensif menjelang batas waktu bayar iuran. Untungnya pembayaran JKN relatif mudah untuk peserta yang tinggal di kota, memanfaatkan layanan perbankan online atau layanan non perbankan terdekat. Pada bulan berikutnya saya mengusahakan untuk tidak mepet lagi dengan batas waktu membayar.
Ketika saya memutuskan mendaftar JKN tentu niat baik saya akan terus berkomitmen membayar sesuai tanggal yang ditetapkan. Nyatanya tidak jarang ada hambatan teknis mengenai pembayaran sendiri. Saya bersyukur ada pasal 17 ayat 1 Perpres No 19 tahun 2016, “Dalam hal terdapat keterlambatan pembayaran iuran Jaminan Ksesehatan lebih dari 1 (satu) bulan sejak tanggal 10 sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 1 dan ayat 2 dan pasal 17A ayat 1, penjaminan peserta diberhentikan sementara. Jadi tidak seperti membayar pulsa listrik, ketika tidak membayar iuran kartu peserta langsung tidak bisa digunakan.
Kebetulan saat ini saya menjadi bagian program inisiatif warga terkait perbaikan layanan JKN. Saya ditugaskan untuk bergaul dengan para pengguna JKN di layanan kesehatan yang dipilih program tersebut. Ada pasien yang saya temui di fasilitas rujukan pertama berhenti membayar iuran gara-gara rujukan pertama yang ia pilih layanannya tidak memuaskan. Ternyata soal iuran masalahnya bukan soal keterlambatan saja, tetapi berhubungan dengan tingkat kepuasan. Bahkan mungkin ada juga daerah-daerah yang mengeluhkan cara pembayaran, meskipun sudah banyak alternatifnya.
Soal keluhan, mereka terutama mengeluhkan antrean di fasilitas kesehatan tingkat lanjut dan pemilihan fasilitas rujukan tingkat pertama yang tidak sesuai. Meskipun banyak juga yang menikmati manfaatnya, terutama penderita penyakit kronis. Seperti seorang ibu yang pernah saya temui, ia rutin mengantar mertuanya yang menderita kanker Payudara mengakses JKN. Ibu tersebut sering sharing bagaimana keluarga mereka merasakan manfaatnya juga mengenai perkembangan layanan JKN dari antrean di layanan rujukan tingkat lanjut yang lama hingga kemudian disediakan antrean untuk lansia.Â
Saya juga bertemu dengan seorang penderita gagal ginjal yang rutin melakukan cuci darah menggunakan JKN. Selain itu juga bertemu dengan para pendamping ODHA (Orang dengan HIV/ AIDS) yang setia mendampingi dampingannya. Bahkan mengurus administrasi JKN saat mereka melakukan rujukan. Banyak sekali kelompok-kelompok yang memang membutuhkan jaminan kesehatan ini. Meskipun, JKN hanya bisa mencover obat sesuai dengan standar INA CBG’s. Mendengar manfaat gotong royong BPJS kesehatan, hal-hal seperti antrean panjang yang ditemui saat pendaftaran atau hambatan teknis lainnya menjadi tidak ada artinya.
Mengingat kesehatan memang kebutuhan setiap orang, artinya setiap warga Negara Indonesia membutuhkan layanan kesehatan dan Negara harus menjamin ini. Adanya JKN yang siap melayani seluruh warga Negara pada tahun 2019 nanti tentu tujuan yang mulia. Â Soal komitmen urun iuran ini memang perlu menjadi perhatian tersendiri. Meskipun sudah dibuatkan aturan sedemikian rupa, jaminan sosial tidak bisa kaku seperti layanan air atau listrik menyerahkan komitmen pada perseorangan. Tetap perlu cara atau dibuatkan media khusus mengatasi ini dengan evaluasi terus menerus.
Kelak evaluasi ini akan menjadi bahan untuk perbaikan kualitas kepesertaan. Bagaimanapun, kualitas peserta akan mempengaruhi ketersediaan dana iuran yang memungkinkan untuk peningkatan kualitas layanan. Akhirnya harapan kuantitas pesertapun jumlahnya akan mengikuti.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H