Di ibukota waktu itu, hujan baru saja berlalu. Menyisakan angin malam yang terasa begitu membelai kulit. Tetapi seperti tidak ada masalah yang berarti, sepanjang pinggiran rel kereta api Gunung Antang tetap saja ramai. Bahkan bisa dikatakan sangat ramai. Setidaknya terlihat ada seratusan perempuan yang berpenampilan mengundang birahi. Belum lagi jika dihitung para lelaki yang ada di sana. Dentuman musik house yang nyaring menambah semarak keramaian tempat itu.
Bukan rahasia umum di sepanjang pinggiran rel tersebut menjadi tempat prostitusi bagi para pekerja seks komersial kelas teri. Tempat prostitusi yang ada di daerah Matraman, Jakarta Timur sejak tahun 1976 ini memang terkenal dengan tarif murah meriahnya. Jadi tidak heran, selalu ramai dikunjungi para lelaki hidung belang yang umumnya berkantung tipis.
Pekerja seks komersial atau biasa disingkat "PSK" yang ada di sana pun beragam. Dari perempuan berusia remaja hingga yang berusia paruh baya. Dan, dari sekian banyak perempuan yang digolongkan sebagai PSK tersebut ada satu yang cukup menarik perhatian.
PSK itu mengaku bernama Tati, usianya 30 tahun. Di saat sebagian PSK lainnya sedang asyik dalam tarian erotis dan sebagian lainnya hanyut dalam percakapan mesum dengan lelaki hidung belang. Tati hanya duduk santai di rel kereta api, sembari memainkan telepon genggamnya. Sesekali senyuman manis yang menggurat wajahnya itu menyambut lelaki hidung belang yang mendekatinya.
Perempuan yang tinggal di Kemayoran ini berbeda dengan PSK lainnya. Jangan harap ada ajakan berkencan keluar dari mulutnya. Apalagi berharap akan rayuan atau percakapan mesum yang membius. Bukan karena dia sombong, melainkan dia memang tidak bisa bicara, alias bisu.
Tidak akan ada yang pernah menyangka bahwa Tati adalah PSK bisu, sebelum dia menjelaskan dengan bahasa isyarat jarinya. Terkadang Tati harus sampai menggunakan telepon genggam untuk mengetikkan maksud hatinya. Walau dia bisu, tetapi dia tidak tuli. Jadi untuk beradaptasi berkomunikasi dengannya tidaklah membutuhkan waktu yang lama.
Meskipun bisu, bukan berarti dia sepi peminat. Ya wajar saja, tubuh dan parasnya tidak jelek-jelek amat. Dalam sehari, dia bisa dapat tiga sampai empat pelanggan. Tidak berarti tidak bisa lebih banyak. Tetapi dia selalu membatasi dirinya untuk empat pelanggan saja. Tidak jelas apa alasan di balik itu.
Tati sendiri membanderol tarifnya sebesar Rp. 100.000 - Rp. 150.000 untuk sekali ngamar. Ngamar adalah istilah yang sudah umum digunakan PSK Gunung Antang untuk mengajak lelaki hidung belangnya berhubungan seks. Ini dikarenakan, lokasi berhubungan seks tersebut berupa kamar atau bilik kecil yang berukuran 1 x 1.5 meter.
Tarif perempuan yang genap sepuluh tahun menjadi pemuas syahwat tersebut tidaklah mutlak, artinya masih bisa nego. Bilamana dia dan tamunya sudah deal, dia bersama lelaki hidung belangnya itu lantas akan berpindah tempat, ke deretan bilik yang ada di sepanjang pinggiran rel tersebut.
Untuk menggunakan bilik, dia mesti membayar Rp. 10.000, ditambah Rp. 5.000 untuk beli satu piecekontrasepsi, dan Rp. 10.000 lagi untuk biaya keamanaan untuk preman yang berjaga-jaga disana.
Tati sedikit beruntung daripada teman sesama PSK-nya yang bernama Ana. Ana seringkali tidak memperoleh satu pelanggan pun dalam sehari. Padahal dia mengaku hanya membanderol tarifnya sebesar Rp. 50.000 saja. Awalnya, ia sering pulang dengan tangan kosong. Tapi kini tidak lagi, beberapa teman PSK mulai peduli pada dirinya. Tati adalah satu diantara teman PSK yang peduli tersebut, dia membagi sedikit penghasilannya kepada Ana. Setidaknya Ana bisa punya ongkos pulang ke Bekasi dan beberapa sisanya untuk makan ibu dan kedua anaknya.
Sepuluh tahun melakoni pekerjaan sebagai PSK bukanlah waktu yang sebentar. Pertanyaannya, mengapa Tati tetap memilih pekerjaan seperti ini? Jawabannya selalu tidak jauh dari masalah ekonomi. Tati adalah salah satu dari sekian banyak warga negara di republik ini yang mengalami masalah termarjinalkan secara ekonomi.
Masalah ekonomi berupa kemiskinan lah yang menyebabkan pendidikannya rendah. Pendidikannya yang rendah mengakibatkan keterampilan kerjanya terbatas, otomatis sulit memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Pekerjaan dengan penghasilan rendah menjadi penyebab sulitnya menjauhi garis kemiskinan. Ini akan terus berputar seperti lingkaran setan. Pemerintah yang menjadi buta dan tuli dalam persoalan seperti ini tentu akan terus menambah jumlah orang-orang yang termarjinalkan secara ekonomi. Bahkan dalam kasus Tati, karena pekerjaannya, dia dikategorikan termasuk warga negara yang termarjinalkan secara ekonomi maupun sosial.
Sejarah penelitian mencatat, banyak orang-orang yang termarjinalkan secara ekonomi menjadi frustasi. Ada yang bersikap nrimo, ada yang memilih bertindak kriminal, dan tragis ada juga yang memilih mengakhiri hidupnya. Tetapi tidak dengan Tati. Meskipun dia saat ini bekerja sebagai PSK, tapi dia tidak kehilangan "harapan" dalam menjalani hidup.
Harapan adalah bahan bakar untuk menjalani kehidupan. Seperti kebanyakan orang bilang, tragedi terbesar bagi umat manusia adalah kehilangan harapan. Semoga Tati dan orang-orang sepertinya tidak pernah kehilangan harapan untuk menjalani dan menyiapkan hidupnya ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H