Pendahuluan
Dunia lampau dan kini yang dihuni oleh manusia masihlah dalam kegelapan dosa. Dosa masih menguasai dunia, meski kuasanya tidak sebanding dengan kuasa Allah. Pun manusia yang tinggal di dunia ini masih tercemar akan dosa.
Ibarat perbandingan Kristus dengan manusia adalah seperti perbandingan kemuliaan dengan kecemaran dosa. Dosa menjadikan manusia semakin menjauh dari Allah dan hubungan Allah dengan manusia menjadi cemar dan terputus. Allah tidak bisa berkompromi dengan dosa. Sebab Allah adalah kudus (Imamat 19:2b; 1 Petrus 1:16).
Dengan sifat dan atribut 'kudus' yang ada pada diri Allah memungkinkan setiap orang percaya terhindar untuk tidak melakukan dosa. Dan sepatutnyalah setiap orang percaya hidup dalam kekudusan Allah, sebab Allah adalah kudus. Kehidupan yang tidak berkompromi terhadap dosa merupakan bagian yang sangat penting bagi setiap orang percaya.
Namun pertanyaannya ialah bagaimana hidup tidak berkompromi terhadap dosa? Dalam Surat Kisah Para Rasul sangat eksplisit memberitahukan kepada kita bahwa dampak dosa sangatlah fatal dan mematikan. Itu nampak dalam kisah Ananias dan Safira (lihat: Kisah Para Rasul 5:1-11), yang mana mereka berdua telah berkompromi untuk tidak mempersembahkan semua hasil penjualan tanahnya kepada rasul-rasul untuk dibagikan kepada setiap orang percaya sesuai dengan keperluannya (4:34-35).
Dengan perbuatan kompromi terhadap dosa tersebut mengakibatkan Ananias dan Safira seketika mati, saat rasul Petrus berkata: "Ananias, mengapa hatimu dikuasai iblis, sehingga engkau menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu? Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu dalam hatimu? Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah." Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya beserta istrinya (5:3-5, 10).
Pengalaman Ananias dan Safira tersebut menjadi alarm keras bagi kita orang-orang percaya pada masa kini dalam menjalani hidup bersama Kristus; Apakah kita benar-benar pengikut Kristus atau bukan? Apakah kerohanian kita bermasalah atau tidak? Apakah hidup kita berkompromi dalam dosa? Apakah kita terlihat jujur kepada manusia, namun ternyata berdusta kepada Allah dalam memberikan sesuatu, contohnya persembahan dan lain sebagainya?
Bagi saya, dalam hal ini, Ananias dan Safira adalah orang yang benar-benar tidak percaya kepada Injil. Mengapa saya katakan demikian, sebab mereka bukan saja berdusta kepada manusia (dalam memberikan persembahan), namun mereka berdusta kepada Allah. Itu manifestasi orang yang memang tidak percaya kepada Injil.
Petrus berkata, "...engkau mendustai Roh Kudus ( [pseusasthai])." "...Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah ( [epseus])." (Kisah Para Rasul  5:3b-4d). Ananias dan Safira bukan saja hanya berbohong biasa, namun mereka mengucapkan ketidakbenaran atau upaya untuk menipu dengan kepalsuan.
Satu-satunya cara untuk menjadi 'manusia' (milik-Nya) Allah ialah dengan kasih karunia-Nya sendiri yang mengarah pada kita, saya dan Anda, melalui Injil yang kita dengar dan imani. Mendengar dan beriman pada Injil bukankah anugerah-Nya? Setiap manusia yang berada di kolong langit ini tidak bisa dan mampu menjadi milik-Nya Allah melalui usahanya sendiri. Entah itu usaha melalui "ketaatan beragama," berbuat baik, beramal saleh, dan sebagainya.
Allah-lah yang berusaha, sehingga setiap manusia yang ditetapkan-Nya itu beroleh iman kepada Yesus menjadi milik-Nya Allah sendiri.