Stephen Tong pernah berkata: "Gereja yang tidak memberitakan Injil adalah gereja (wadah/gedung atau himpunan orang-orang percaya di dalam persekutuan) yang sedang menggali kuburannya, dan yang akan segera mati (mati yang dimaksudkan disini adalah tutupnya gedung gereja)."
Pernyataan tersebut tegas dan keras. Namun tidak kalah tegas dan kerasnya dari pernyataan seorang rasul besar yang dikenal sebagai "bapak penginjil terbesar" dalam Perjanjian Baru di Alkitab, yakni rasul Paulus. Rasul Paulus pernah berkata kepada jemaat yang ada di Korintus mengenai hak dan kewajibannya sebagai pemberita Injil, namun tidak mempergunakan hak-haknya tersebut, semata-mata ia memberitakan Injil untuk mendapat berkat jasmani. Tidak! (1 Korintus 9:15).
Dia berkata sebaliknya, οὐαί γάρ egó (ouai gar egó)= "...Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil." (1 Korintus 9:16c). Pernyataan Paulus yang tegas dan keras tersebut tersirat dan bermakna kesedihan dan kecaman yang sangat mendalam, apabila tidak memberitakan Injil. Baginya Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan semua orang yang percaya pada Injil (Roma 1:16), baginya Injil segalanya, supaya mendapat bagian di dalamnya (1 Korintus 9:23), karena baginya hidup adalah Injil (Kristus) dan mati adalah keuntungan (Filipi 1:21).
Sudah berapa banyak-kah Anda memberitakan Injil bagi orang-orang berdosa di dunia yang berdosa ini? Adakah Anda seperasa dengan Paulus apabila Anda tidak memberitakan Injil, Anda berkata: "celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil?" Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, perlu diperhatikan dan dipahami secara benar alasan-alasan berikut:
Menurut penulis (sejauh ini) ada dua alasan mengapa orang percaya tidak memberitakan Injil:
1. Masalah Rohani (tidak beres)
Dalam perjalanannya, setiap orang percaya mau tidak mau, suka tidak suka, pasti diperhadapkan dengan tantangan dunia yang sangat menggiurkan akan "harta, tahta dan ketenaran (HTK)." Dunia yang sangat menggoda akan kemegahannya, bahkan rayuan manis dunia ini akan sangat "nampak rohani" bila tidak peka akan Roh Kudus dan firman-Nya (di Alkitab).
Dalam Alkitab dikisahkan sepasang suami istri yang tergiur akan harta duniawi. Sepasang suami istri ini memberikan sebagian dari hasil penjualan hartanya (tepatnya sebidang tanah) kepada Tuhan lewat rasul-rasul pada masa jemaat mula-mula (Kisah Para Rasul 4:32-37). Mereka tergiur akan harta mereka sendiri. Mereka menjual semuanya, guna untuk membantu jemaat-jemaat lainnya, namun mereka menyimpan sebagiannya lagi, tidak memberikan semuanya untuk Tuhan melalui rasul-rasul.
Mereka mendustai Roh Kudus (Kisah Para Rasul 5:3). Kedua sepasang suami istri tersebut seketika mati, ketika rasul Petrus berkata: "Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, sehingga engkau mendustai Roh Kudus dan menahan sebagian dari hasil penjualan tanah itu?
Selama tanah itu tidak dijual, bukankah itu tetap kepunyaanmu, dan setelah dijual, bukankah hasilnya itu tetap dalam kuasamu? Mengapa engkau merencanakan perbuatan itu dalam hatimu? Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah."
Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya. Maka sangatlah ketakutan semua orang yang mendengar hal itu. Kata Petrus lagi kepada istrinya, Safira: "Mengapa kamu berdua bersepakat untuk mencobai Roh Tuhan? Lihatlah, orang-orang yang baru mengubur suamimu berdiri di depan pintu dan mereka akan mengusung engkau juga ke luar."
Lalu rebahlah perempuan itu seketika itu juga di depan kaki Petrus dan putuslah nyawanya. Ketika orang-orang muda itu masuk, mereka mendapati dia sudah mati, lalu mereka mengusungnya ke luar dan menguburnya di samping suaminya (Kisah Para Rasul 5:3-5, 9-10). Ananias dan Safira termasuk dalam kumpulan jemaat mula-mula pada masa itu, nama mereka juga terpampang jelas dituliskan di Alkitab.
Apa pesan moral yang ingin disampaikan oleh TUHAN Allah (lewat Alkitab) kepada kita masa kini? Pesan moralnya adalah karena masalah Rohani.
Itu sebabnya Yesus pernah berkata: "..Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24c; Lukas 16:c). Attila Thorday dalam artikelnya, THE PRINCIPLES OF OWNERSHIP IN THE EARLY CHURCH. THE PUNISHMENT OF ANANIAS AND SAFIRA (ACTS 5: 1---11) mengatakan: "Sin committed against the Christian community, as we may have seen in the story of Ananias and Safira, appeared very early in the history of the Jerusalem Church, pri-marily around matters of money and sharing of goods. 13 Peter immediately pointed out its severity and even God justified its seriousness by the sudden death of the sinners." (= Dosa yang dilakukan terhadap komunitas Kristen, seperti yang mungkin telah kita lihat dalam kisah Ananias dan Safira, muncul sangat awal dalam sejarah Gereja Yerusalem, terutama seputar masalah uang dan pembagian barang. Petrus segera menunjukkan keparahannya dan bahkan Tuhan membenarkan keseriusannya dengan kematian mendadak dari orang-orang berdosa).
Pengalaman Ananias dan Safira menjadi alarm keras bagi kita orang-orang percaya masa kini dalam menjalani hidup bersama Kristus. Apakah kita benar-benar pengikut Kristus atau bukan? Apakah rohani kita bermasalah atau tidak. Apakah kita terlihat jujur kepada manusia namun berdusta kepada Allah dalam memberikan sesuatu, semisal persembahan dan lain sebagainya?
Bagi saya, dalam hal ini, Ananias dan Safira adalah orang yang benar-benar tidak percaya kepada Injil. Mengapa saya katakan demikian, sebab mereka bukan saja berdusta kepada manusia (dalam memberikan persembahan), namun mereka berdusta kepada Allah. Itu manifestasi orang yang memang tidak percaya kepada Injil.
Petrus berkata: "..engkau mendustai Roh Kudus [ (pseusasthai)].," "..Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah [ (epseus)]." (Kisah Para Rasul 5:3b-4d). Ananias dan Safira bukan saja hanya berbohong biasa, namun mereka mengucapkan ketidakbenaran atau upaya untuk menipu dengan kepalsuan. Dalam hal ini, Ananias dan Safira bukan bermasalah dengan rohaninya, tetapi memang mereka bukan percaya Injil.
Lalu, bagaimana dengan orang percaya yang bermasalah dengan rohaninya berkaitan dengan pemberitaan Injil?
Kita bisa lihat dengan jelas dalam Kisah Para Rasul 13:13; 15:36-39. Lalu Paulus dan kawan-kawannya meninggalkan Pafos dan berlayar ke Perga di Pamfilia; tetapi Yohanes meninggalkan mereka lalu kembali ke Yerusalem.
Tetapi beberapa waktu kemudian berkatalah Paulus kepada Barnabas: "Baiklah kita kembali kepada saudara-saudara kita di setiap kota, di mana kita telah memberitakan firman Tuhan, untuk melihat, bagaimana keadaan mereka."
Barnabas ingin membawa juga Yohanes yang disebut Markus; tetapi Paulus dengan tegas berkata, bahwa tidak baik membawa serta orang yang telah meninggalkan mereka di Pamfilia dan tidak mau turut bekerja bersama-sama dengan mereka.
Hal itu menimbulkan perselisihan yang tajam, sehingga mereka berpisah dan Barnabas membawa Markus juga sertanya berlayar ke Siprus. Dalam perselisihan yang terjadi tersebut, akar persoalannya ialah terletak pada Yohanes yang disebut Markus, pertama, meninggalkan rekan-rekan sekerja dalam pemberitaan Inji. Kedua, Yohanes tidak mau bekerja bersama-sama dengan rekan sekerja (Paulus, Barnabas, Silas). Dalam hal ini, Yohanes yang disebut Markus bermasalah dalam rohani dalam pemberitaan Injil.
Dalam pengalaman penulis selaku ULB, juga pernah mengalami hal yang sama. Satu kali, penulis pergi memberitakan Injil dengan rekan-rekan sekerja (tiga orang) ke suatu tempat yang sudah ditentukan wilayahnya. Saat jalan bersama dengan rekan-rekan sekerja waktu itu, penulis berpisah dengan rekan-rekan, dan memberitakan Injil sendirian kepada orang yang dijumpai. Waktu itu memang, ada sedikit sentiment kepada salah satu rekan sekerja, sehingga membuat situasi mengharuskan saya berpisah dengan rekan-rekan sekerja.
Bila ditilik secara dalam, kelihatannya memang sukses dalam memberitakan Injil, Injil tersampaikan kepada orang lain, namun sebenarnya adalah bahwa ada persoalan rohani. Adanya ketidak-enakan dan atau ketidak-cocokan pada saat itu dengan rekan sekerja dalam pemberitaan Injil-Nya.
Apakah Anda mengalami hal yang sama?Orang-orang percaya masa kini juga tidak sedikit yang mengalami persoalan rohani sehingga tidak memberitakan Injil. Bagi mereka, pekerjaan memberitakan Injil adalah tugas para hamba Tuhan; tugas misionaris, tugas pendeta, tugas guru agama dan lain sebagainya.
Nampak benar memang, namun apakah Alkitabiah pernyataan tersebut? Yesus telah memberi jubah Amanat Agung kepada para rasul dan orang-orang percaya masa lampau, untuk memimpin setiap orang kepada Injil dan memberitakan Injil. Dengan tegas Yesus berkata: "..pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:19-20).
Mike Shipman berkata: "Satu-satunya cara para rasul dalam memuridkan dunia adalah melalui kepemimpinan mereka. Terlepas dari peran mereka dalam mempengaruhi setiap generasi baru orang percaya untuk memikul jubah Amanat Agung,.."
Pemberitaan Injil adalah perintah Sang Inisiator Agung! Berarti pula pemberitaan Injil adalah suatu kewajiban dan keharusan untuk dilakukan oleh setiap orang-orang percaya sejati. Lalu bagaimana cara memberitakannya?
2. Masalah Skill/Keterampilan Menyampaikan Injil (pengetahuan dan kemampuan tidak ada)
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam memberitakan Injil sangat dibutuhkan suatu sarana atau cara atau metodologi metode dalam menyampaikannya. Bukan berarti mutlak penuh dan bergantung pada cara atau metodenya. Namun akan sangat efektif, bila Roh Kudus memenuhi dan menguasai serta memakai setiap orang percaya dalam suatu metode pemberitaan Injil.
Di Alkitab dengan jelas dikisahkan bahwa Yesus memberitakan Injil kerajaan Allah dengan sengaja (metode Yesus) kepada seorang Samaria. Yesus menggunakan strategi sengaja dalam memberitakan Injil kepada seorang perempuan Samaria disebuah kota Samaria di Shikhar (Yohanes 4:4-5). Dan dalam strategi-Nya tersebut, perempuan Samaria pun akhirnya percaya kepada-Nya dan bahkan memberitakan-Nya kepada K3-nya [keluarga, kawan, kenalan] ( ayat 25, 39-42).
Bagi penulis, metode yang digunakan Yesus dalam memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada perempuan Samaria tersebut ialah yang saya sebut, metode PI 3-Saja.
Apa dan bagaimana PI 3-Saja itu? PI 3-Saja ialah suatu metode pemberitaan Injil yang bersifat "ramah lingkungan" kepada "siapa saja, dimana saja, kapan saja (3-Saja).
Michael K. Shipman dalam bukunya, Amat Agung: Karya Kerasulan Kuno dan Kini, Edisi Praktis, mengelompokkan PI 3-Saja tersebut dengan singkatan P5: Pertalian (P1), Peralihan (P2), Penginsafan (P3), Pengabaran (P4), Penyelesaian (P5).
Pertalian yang dimaksud ialah bagaimana kita selaku orang percaya yang ingin membuka percakapan agar Injil terberitakan dengan orang (berdosa) lainnya dengan berkata: "Siapa namanya? Usianya berapa? Tempat tinggalnya dimana? Singkatnya, bangunlah persahabatan dengan orang. Itu juga Nampak pada percakapan Yesus dengan perempuan Samaria (Yohanes 4:3-9).
Peralihan adalah suatu percakapan formal dengan orang lain, yang kemudian dialihkan kepada hal-hal yang rohani, seperti: "Sepertinya baru selesai ibadah ya! Bapak/i sepertinya orang yang taat beribadahnya dst." Yesus pun dalam percakapan-Nya demikian kepada perempuan Samaria yang Ia mengatakan, "..Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup." (ayat 10-15).
Penginsafan sifatnya membawa lawan bicara kita untuk menyadari bahwa ia adalah manusia yang berdosa, dan segala perbuatan baiknya tidaklah bisa untuk menghapuskan segala dosa-dosanya. Bisa kita lihat dalam percakapan Yesus dengan perempuan samaria mengenai perempuan Samaria yang berbohong kepada Yesus (ayat 16-20).
Pengabaran adalah esensi dari pemberitaan Injil (ayat 21-26).
Penyelesaian berbicara keputusan untuk percaya dan terima Injil, dan memberitakan Injil selanjutnya kepada orang-orang lainnya (ayat 39-42).
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat dipahami secara Alkitabiah dan sederhana bahwa orang-orang percaya tidak memberitakan Injil dikarenakan masalah rohani dan masalah skill dalam menyampaikan Injil Kristus (pengetahuan dan kemampuan tidak ada). Masalah rohani bisa datang dari pemikiran yang keliru dan pesimistis bahwa pemberitaan Injil tersebut hanyalah tugas dan tanggung jawab para hamba Tuhan semata. Jemaat hanya sebagai penerima Injil saja, bukan pemberi Injil. Masalah skill dalam menyampaikan Injil dipandang tidak membutuhkan cara atau metode. Nyatanya Yesus pun memiliki strategi dan metode dalam memberitakan Injil kerajaan sorga.
Saran-saran:
Stop berpikiran keliru mengenai tugas dan tanggung jawab pemberitaan Injil adalah tugas orang-orang tertentu saja. Tidak! Perbanyak bersatu dan tinggal dalam Yesus agar pemikiran yang keliru tersebut dihilangkan Roh Kudus dalam diri Anda dan Anda menang atas masalah rohani.
Stop pesimistis dalam memandang dan melakukan Amanat Agung. Anda dan saya adalah anak-anak Allah yang adalah pembawa kabar baik; bukan kabar buruk.
Pelajari semua metode-metode yang ada dalam pemberitaan Injil, seperti salah satunya metode PI 3-Saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H