Mendorong Eksplorasi Minat Tanpa Batasan Gender
Di SMA Kanisius, siswa memiliki kebebasan untuk mengejar minat dan bakat mereka tanpa terbebani oleh stereotip gender. Misalnya, siswa laki-laki yang tertarik pada seni atau teater tidak merasa canggung untuk aktif di bidang tersebut karena semua siswa memiliki kesempatan yang sama.
Kegiatan ekstrakurikuler seperti paduan suara dan drama sering menjadi ajang bagi siswa untuk mengeksplorasi kreativitas mereka. Bahkan, banyak alumni SMA Kanisius yang sukses di bidang seni berawal dari pengalaman mereka dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini.
Pengelolaan Kelas yang Efektif
Di SMA Kanisius, pengelolaan kelas menjadi lebih efisien karena guru dapat menyesuaikan metode pengajaran dengan karakteristik siswa laki-laki. Para guru memahami bahwa siswa laki-laki cenderung lebih kompetitif dan membutuhkan pendekatan yang lebih aktif dalam pembelajaran.
Contohnya, dalam pelajaran sains, guru sering menggunakan pendekatan berbasis proyek yang mendorong siswa untuk bekerja sama menyelesaikan masalah. Strategi ini tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa, tetapi juga mengajarkan mereka keterampilan hidup seperti kerja sama tim dan pemecahan masalah.
Mengurangi Risiko Gangguan Sosial
Sekolah homogen seperti SMA Kanisius juga terbukti memiliki tingkat gangguan sosial yang lebih rendah. Karena siswa memiliki latar belakang yang serupa, potensi konflik akibat perbedaan gender atau stereotip dapat diminimalkan.
Selain itu, fokus siswa pada pencapaian pribadi dan kelompok membuat mereka lebih termotivasi untuk meraih hasil terbaik. Budaya ini menciptakan suasana kompetitif yang sehat, di mana siswa saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.
Tantangan yang Perlu Diatasi
Namun, seperti sistem lainnya, sekolah homogen tidak luput dari tantangan. Salah satunya adalah terbatasnya interaksi dengan siswa dari jenis kelamin lain. Dalam kehidupan nyata, kemampuan untuk berkolaborasi dengan berbagai individu dari latar belakang berbeda sangat penting.