Aku ingat, dulu mama pernah bilang kalau di teluk Alor Kecil ada fenomena alam yang hanya terjadi setahun sekali. Pertemuan arus yang sangat deras membuat kabut di sekitar teluk dan ketika arus dingin ini muncul ikan-ikan pingsan dan terdampar di pinggir pantai dan itu yang di perebutkan oleh nelayan dan penduduk sekitar. Tampaknya asyik juga ikut Acok. Selama di Alor dulu, belum pernah sekalipun aku menikmati fenomena itu.
“Oke. Jam berapa besok berangkat…?”
“Jam tujuh lebih lah. Lu di Mam Tua pu rumah to? Itu na sa jemput lu…”
Angin malam di Pantai Reklamasi ini semakin dingin. Perut kenyang dan sudah waktunya tidur. Sepertinya pemuda-pemudi Alor memang suka nongrong. Di samping kanan ada warung karaoke yang kata Acok sering sekali di pakai mesum. Memang sedari tadi ramai sekali. Aku sudah tidak kuat. Aku pamit pulang dan Acok mengantarku sampai di rumah Mama Tua.
* * *
“Nona, kita su cari bapa tua. Tapi dong su tidak tau bapa tua ada di mana. Dengar-dengar itu hari nona pu bapa ada main dengan bibi jawa. Barangkali nona pu bapa ikut dia ke tempat asalnya si bibi jawa itu,” mam tua tiba-tiba membuka pembicaraan ketika aku masuk ke rumah dan mengambil air putih di dapur.
Bibi jawa yang mam tua maksud itu adalah sebutan untuk perempuan yang melacurkan diri. Di Kalabahi terkenal sekali penjaja seks yang asalnya dari luar Alor, biasanya para transmigran dari pulau Jawa, itulah sebabnya di sebut bibi jawa. Bapa tua yang dimaksud adalah ayah. Aku kemari untuk mencari jejaknya. Semua ini kulakukan untuk berdamai. Sebelum keputusan terbesarku kuwujudkan, maka aku harus bisa berdamai dengan semua yang menyebabkan aku berkeinginan untuk yang satu itu. Menjadi laki-laki yang utuh.
“Ya, kalau memang ayah sudah tidak ada di tempat ini, aku harus segera kembali ke Jakarta. Masih banyak yang harus aku kerjakan di sana. Mungkin aku akan kembali dua atau tiga hari lagi.”
* * *
Malam gerah sekali. Sepertinya mau hujan. Angin kencang mengobrak-ngabrik seng di dapur. Semakin menambah suasana gelisah di hatiku. Dua hari di Kalabahi tidak bisa membuahkan hasil yang bagus. Tapi paling tidak, aku sudah bisa berdamai dengan alam ini. Aku duduk sambil menatap cermin besar yang menempel di lemari kayu pinggir tembok.
Kulihat tubuhku di sana. Ada perasaan sesak di dada. Aku membuka kaosku. Dengan pelan kubuka stagen yang membalut erat payudaraku dengan malas. Tidak ada yang istimewa. Payudara kecilku yang sudah lama ku bekap akhirnya bisa bernafas lega. Aku merebahkan tubuhku, kaos ku biarkan di sampingku.