Tangan kami sibuk mengambil bagian dari ikan bakar sambal colo di depan kami. Memang ikan bakar ini nikmat sekali. Namun seleraku jadi hilang ketika Acok menyebut-nyebut soal rok.
***
Naik kelas 3 aku sudah melepaskan rok sekolah. Aku lebih suka memakai celana. Itu kulakukan karena aku takut memakai bawahan yang membuat aku merasakan udara masuk ke pangkal pahaku. Dingin yang membawaku kembali pada peristiwa malam itu. Di tahun terakhirku di kelas dua, tepatnya beberapa bulan setelah kejadian menyedihkan itu aku masih memakai rok. Setiap aku berjalan selalu saja aku merasa ruang kosong di bawahku itu digerayangi tangan-tangan bahkan sesekali aku merasa di tusuk-tusuk seperti waktu itu.
Aku tak pernah menggunakan rok sekalipun guru-guru di sekolah memarahiku. Tak jarang penggaris panjang atau rotan singgah di kakiku. Aku tak peduli. Aku hanya tak ingin pakai rok. Otakku cerdas, dan itu tak ada hubungannya dengan pakaian yang kukenakan. Aku selalu jadi juara kelas, memang pelajaran di desaku tak sesulit di ibukota. Pemerintah memang bijak, untuk pendidikan di desa disesuaikan dengan tingkat kecerdasan masyarakat yang hanya makan seadanya.
Tak jarang mama memaksaku untuk memakai rok. Lama-kelamaan mama juga bosan menyuruhku. Yang penting baginya adalah aku bisa rajin belajar dan membantunya sesekali menjual sayur di pasar sehabis pulang sekolah. Itu cukup membuatnya bangga dan melupakan kesedihan yang sebenarnya takkan bisa hilang. Tak perlu pakai rok untuk membuatnya tersenyum.
Aku merasa jijik sendiri jika harus pakai rok. Peduli amat dengan ejekan teman-temanku. Aku memang pendiam. Tak ada yang bisa merubah keputusanku. Aku tak perlu teriak-teriak untuk memaksakan kehendakku untuk tetap memakai celana ke sekolah. Cukup dengan membuktikan kalau aku bisa belajar dengan baik dan bertingkah sopan.
Aku heran saja, niat baikku kadang tak sejalan dengan kenyataan. Hanya gara-gara aku beda dengan anak perempuan lainnya, bapak dan ibu guru masih saja suka memukuliku dengan benda-benda panjang seperti penggaris dan rotan tadi. Terkadang aku jadi ingat perkataan ayah kala itu. Memang aku ini anak setan atau suanggi yang memang harus disembuhkan terus menerus. Ya… biarlah, toh penggaris dan rotan ini tidak lebih sakit dari kejadian malam itu.
* * *
“Hem… Des, sudah 2 hari lu di sini… buat apa?” tanya Acok membuyarkan lamunanku.
“Oh… itu… aku mau mencari jejakku…sebelum aku benar-benar pergi…” jawabku asal.
“Lu mo pi mana?, ah… kurang jauh ya Jakarta…? Sekarang lu mo pi ke luar negeri ko?” tanya Acok seraya menyulut rokok setelah ikan bakar di hadapan kami habis hanya tinggal duri saja.