PROLOG
“Pakai rok ini…!” ujar mama yang tiba-tiba masuk kamar tanpa permisi dan sehelai rok berline A berpindah ke tanganku.
“Huh, berapa kali Destri bilang, Des gak mau pakai rok...!” aku membuang rok berwarna merah bata begitu saja di tempat tidur.
Aku tak pernah mau pakai rok. Terlalu perempuan. Sekali tidak tetap tidak.
Pantulan wajahku muncul di cermin, seakan mentertawakan aku… Betapa muaknya aku melihat diriku sendiri.
Aku tetap takkan menyentuh rok apapun.
I.
Aku menatap kesibukan para nelayan dan beberapa perahu kecil yang baru saja tiba pagi ini. Matahari sudah muncul sejak tadi. Hawa laut yang segar dan aroma amis sudah biasa menusuk hidungku. Sejak subuh tadi aku berdiri di tempat ini. Menikmati keindahan air laut yang selalu tenang. Sesekali angin membuatnya bergelombang kecil. Berada di pinggiran pantai pagi ini menggugah kerinduanku pada tanah kelahiranku. Tak jauh dari tempatku ini terlihat pelataran rumahku yang kini sudah berganti penghuni dan dengan bentuk yang sudah di renovasi.
Angin pagi menusuk tubuhku. Keindahan teluk Kalabahi ini membuatku tersadar bahwa aku memiliki tempat berpijak yang benar-benar surga. Pulau kecil tempat pertama kuhembuskan nafas ini terletak di sebelah utara Nusa Tenggara Timur, berbukit-bukit, dan di kelilingi perairan biru. Kalabahi, satu-satunya tempat yang bisa menikmati hamparan teluk terlebar di seluruh dataran propinsi ini.
Selayang pandang kulihat bukit yang mulai menghijau terkena sinar matahari yang perlahan-lahan membuatku memerah. Nyanyian burung-burung sesekali kudengar, tampaknya asyik menukik ke permukaan air untuk menangkap ikan-ikan kecil dengan moncongnya.
Tempat ini berubah. Segalanya berubah. Dulu hamparan luas ini adalah pinggir pantai. Tempatku berlari-lari kecil bersama teman-teman. Berenang selagi air pasang. Mengumpulkan kerang-kerang yang berbentuk lucu dan menarik, juga mencari Bunga Batu yang terhampar di sepanjang pantai Alor. Bunga Batu atau Batu Puyuh biasanya kami kumpulkan sebagai mata pencaharian. Bentuknya bagus dan beraneka ragam bisa digunakan sebagai hiasan. Aku dan teman-teman paling senang jika bisa membawa pulang beberapa lembar ratusan dari hasil mengumpulkan Bunga Batu yang konon tak pernah ada habisnya, bahkan selalu bertambah setiap hari dipinggir pantai.
Sekarang, kios-kios kecil sudah menghiasi tempat ini. Malam hari, tempat ini ramai dengan pemuda-pemudi Alor yang sekedar nongkrong atau menikmati angin malam sambil makan ikan bakar, berkaraoke, berpacaran atau bahkan lebih dari sekedar pacaran. Benar-benar pemandangan yang beda setelah kepergianku duabelas tahun yang lalu. Hanya satu yang tetap. Perasaan benciku terhadap diri sendiri dan tentu saja kepada pantai yang sekarang sudah berubah menjadi tempat hiburan ini. Aku masih belum bisa berdamai dengan pantai yang sebenarnya mengajakku bersalaman dengan hawa sejuk ini.
“Kaka, mam tua su tunggu kaka nona buat sarapan, mari sudah ko kita dua pulang,” sapaan Seba membuyarkan lamunanku.
Seba, gadis remaja kurus tinggi di hadapanku ini adalah seorang gadis dari pulau Pantar yang membantu mama mengurus rumah dulu. Seba sudah kuanggap adik. Mam Tua yang baru saja disebutnya adalah ibunya. Sejak kemaren aku menginap di rumahnya. Sebenarnya aku ingin menginap di hotel Kenari, tapi karena hotel itu dipakai acara oleh sebuah LSM untuk lokakarya aku memilih menginap di rumah Seba, lebih leluasa untuk keluar masuk dan dekat dengan pantai masa kecilku.
“Holah, mari kita pulang, sa pu perut ju su bunyi,” ujarku sembari menggandeng tangan kecilnya dan melangkah bersama menuju rumah yang hanya berjarak 5 menit dari tempatku melamun.
Mam Tua sudah menata makanan di meja makan. Tubuhnya yang masih kuat di umurnya yang sudah lebih dari 60 tahun begitu lincah bergerak. Biasa naik turun gunung. Seminggu sekali Mam Tua naik ke Pantar untuk membawa barang dagangan seperti baju-baju rombengan yang ia beli karungan dari kapal yang datang. Lumayan juga, satu karung dia hanya mengeluarkan seratus ribu hingga duaratusribu rupiah untuk baju lebih dari duaratus lembar. Biasanya Mam Tua pulang dengan karung yang sudah kosong.
Mam Tua menuangkan sesendok Jagung Bose ke piring di depanku. Seba sedari tadi sudah mengambil jatahnya sendiri dan duduk di sampingku.
“Nona, lebih baik lu makan itu jagung bose sudah, karna sa ju hanya masak itu saja. Tapi barangkali lu su lupa e dia pu rasa. Kalau lu tidak suka na, sa buat mie goreng saja…” mam tua langsung membuka lemari makan dan mengeluarkan sebungkus mie instant begitu melihatku seakan tak nafsu melahap makanan khas Timor ini yang terbuat dari jagung pulut ini.
“Tidak mam. Aku makan ini saja. Lagi sudah lama juga tidak mencicipi makanan ini. Dulu mama sering masak ini dicampur daging se’i. Tapi sejak di Jakarta, mama sudah tidak pernah menghidangkan makanan ini,” ujarku semangat sambil menikmati Jagung Bose buatan mama tua. Rasanya memang tiada duanya. Apalagi daging se’i, daging sapi yang diiris tipis-tipis dan diasap. Benar-benar mengingatkanku pada masakecil yang nyaris ingin kumusnahkan dari otakku.
* * *
Namaku Destri. Hanya Destri tanpa embel-embel. Aku terlahir dalam sebuah keluarga nelayan di pesisir Binongko, salah satu desa nelayan di kota Kalabahi, kepulauan Alor, duapuluhdelapan tahun yang lalu.
Aku perempuan pertama dari 3 bersaudari. Ayah dan mamaku adalah pendatang dari Makasar. Ayah lebih dulu tinggal di kota ini bersama orang tuanya dan hidup sebagai nelayan. Kadang-kadang juga berdagang ikan di pasar. Sewaktu-waktu juga ikut menjadi kuli harian di pelabuhan jika sedang tidak ingin melaut. Tak jarang juga keluar masuk toko sebagai pekerja kasar, toko yang di juragani oleh keturunan China yang datang dari berbagai pelosok nusantara. Kebanyakan China Surabaya yang memang sudah menyatu dengan alam Alor. Saat ini hampir seluruh pertokoan di Kalabahi ini dikuasai oleh pedagang keturunan itu.
Sejak menikah dengan mama, ayah semakin jarang pulang. Semakin giat melaut. Kembali ke rumah sesukanya. Bahkan ketika aku ada dalam kandungpun, ayah jarang membelai mama apalagi aku di dalam perut. Paling-paling ayah pulang setelah berminggu-minggu melaut atau entah di mana.
Ayah sangat ingin anak laki-laki. Segala ramuan tradisional untuk mendapatkan anak sesuai keinginannya telah dilakukan. Hingga ketika aku terlahir, ayah kecewa, karena yang ada di buaiannya adalah seorang bayi perempuan yang berkulit kuning dan cantik. Persis seperti mama, cantik.
Kekecewaan ayah semakin tampak. Ayah semakin jarang pulang. Kalaupun pulang sambil mabuk-mabuk, memukuli mama. Mama tak kenal putus asa. Tetap setia pada ayah. Apapun yang ayah lakukan pada mama seakan tak ada artinya dengan cinta yang mama berikan pada ayah.
Dua tahun setelah kelahiranku, mama kembali melahirkan anak perempuan, Desnita. Tambah kecewalah ayah. Mama semakin sering menangis. Aku masih kecil, belum mengerti apa-apa, tapi aku tahu mama menderita. Sama halnya ketika aku merasa kesakitan jika tangan ringan ayah mulai membabibuta dan memukuliku dengan atau tanpa alat. Aku terbiasa di kurung di satu ruang tempat mandi dekat sumur di malam hari. Sambil menangis tersedu ayahpun tetap tak peduli ketika aku merengek masuk. Yang kudengar hanya omelan ayah pada mama yang juga menangis demikian juga adik kecilku yang ikut memecah keheningan malam.
Sejak aku lahir hingga aku beranjak usia enam tahun, ayah selalu memperlakukan aku kasar. Tak sedikitpun belaian kasih sayang darinya aku terima. Aku selalu menangis. Meski aku tak tahu salah apa sebenarnya aku. Aku selalu takut untuk berdekatan dengan ayah. Sebenarnya ingin berada di pelukan tangan kekarnya seperti Acok, teman sepermainanku di sebelah rumah, yang selalu digendong mesra ayahnya. Apa karena Acok seorang anak laki-laki?...
Ketika aku masuk taman kanak-kanak milik sebuah yayasan aku semakin tak peduli dengan keberadaan ayah. Aku menganggapnya tak ada. Meski aku selalu berusaha mencuri-curi pandang ketika ayah pulang dan duduk di meja makan atau sekedar merokok di teras rumah.
Di taman kanak-kanak aku terkenal anak yang pendiam. Selalu menyendiri. Satu-satunya temanku hanya Acok. Acok yang selalu mengajakku berlari-lari di tepi pantai sepulang dari bermain di sekolahan. Ayah Acok selalu mengajak kami berenang hingga ke tengah lautan. Panas terik matahari yang embakar tubuhku tak kurasakan perih, karena itu saat yang paling membahagiakan. Ayah Acok lebih pantas jadi Ayahku.
* * *
Aku baru saja duduk di kelas di kelas 2 sekolah dasar di yayasan yang sama ketika mama melahirkan lagi seorang adik untukku. Perempuan, Larai. Ayah makin menjadi-jadi. Semakin gila mabuk. Kudengar ayah punya wanita lain. Dari mulut halus mama. Tak ada amarah ketika mama bercerita kalau ayah akan semakin jarang pulang. Mama hanya meneteskan air mata. Sambil menggendong Larai, mama memelukku dan Desnita. Aku memang masih umur 8 tahun. Tapi aku kini lebih mengerti. Mama lebih baik tak bersama ayah. Ayah lebih baik tak pulang lagi kerumah ini.
Berat hatiku. Belum sempat aku merasakan pelukan hangat tubuhnya. Aku ingat satu hari. Ayah baru saja pulang dari berlayar. Dua minggu ayah pergi melaut. Aku memberanikan diri menyambutnya di muka rumah. Rasa kangenku tak terbendung. Ayah selalu pergi dan hanya kembali untuk beberapa waktu.
”Ah... jangan kaupeluk aku!” ayah mendorongku hingga hampir terjungkal. Aku kaget dan hampir menangis.
”Ayah kenapa ko?, Des kangen sama ayah, kenapa na ayah marah sama Des?” aku beranikan diri bertanya.
Ayah hanya diam dan masuk ke rumah tanpa menjawab pertanyaanku. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertanya. Saat mama bilang ayah akan lama pergi mungkin takkan kembali, aku bersyukur dan semakin erat memeluk mama juga adik-adikku.
* * *
bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H