Sekarang, kios-kios kecil sudah menghiasi tempat ini. Malam hari, tempat ini ramai dengan pemuda-pemudi Alor yang sekedar nongkrong atau menikmati angin malam sambil makan ikan bakar, berkaraoke, berpacaran atau bahkan lebih dari sekedar pacaran. Benar-benar pemandangan yang beda setelah kepergianku duabelas tahun yang lalu. Hanya satu yang tetap. Perasaan benciku terhadap diri sendiri dan tentu saja kepada pantai yang sekarang sudah berubah menjadi tempat hiburan ini. Aku masih belum bisa berdamai dengan pantai yang sebenarnya mengajakku bersalaman dengan hawa sejuk ini.
“Kaka, mam tua su tunggu kaka nona buat sarapan, mari sudah ko kita dua pulang,” sapaan Seba membuyarkan lamunanku.
Seba, gadis remaja kurus tinggi di hadapanku ini adalah seorang gadis dari pulau Pantar yang membantu mama mengurus rumah dulu. Seba sudah kuanggap adik. Mam Tua yang baru saja disebutnya adalah ibunya. Sejak kemaren aku menginap di rumahnya. Sebenarnya aku ingin menginap di hotel Kenari, tapi karena hotel itu dipakai acara oleh sebuah LSM untuk lokakarya aku memilih menginap di rumah Seba, lebih leluasa untuk keluar masuk dan dekat dengan pantai masa kecilku.
“Holah, mari kita pulang, sa pu perut ju su bunyi,” ujarku sembari menggandeng tangan kecilnya dan melangkah bersama menuju rumah yang hanya berjarak 5 menit dari tempatku melamun.
Mam Tua sudah menata makanan di meja makan. Tubuhnya yang masih kuat di umurnya yang sudah lebih dari 60 tahun begitu lincah bergerak. Biasa naik turun gunung. Seminggu sekali Mam Tua naik ke Pantar untuk membawa barang dagangan seperti baju-baju rombengan yang ia beli karungan dari kapal yang datang. Lumayan juga, satu karung dia hanya mengeluarkan seratus ribu hingga duaratusribu rupiah untuk baju lebih dari duaratus lembar. Biasanya Mam Tua pulang dengan karung yang sudah kosong.
Mam Tua menuangkan sesendok Jagung Bose ke piring di depanku. Seba sedari tadi sudah mengambil jatahnya sendiri dan duduk di sampingku.
“Nona, lebih baik lu makan itu jagung bose sudah, karna sa ju hanya masak itu saja. Tapi barangkali lu su lupa e dia pu rasa. Kalau lu tidak suka na, sa buat mie goreng saja…” mam tua langsung membuka lemari makan dan mengeluarkan sebungkus mie instant begitu melihatku seakan tak nafsu melahap makanan khas Timor ini yang terbuat dari jagung pulut ini.
“Tidak mam. Aku makan ini saja. Lagi sudah lama juga tidak mencicipi makanan ini. Dulu mama sering masak ini dicampur daging se’i. Tapi sejak di Jakarta, mama sudah tidak pernah menghidangkan makanan ini,” ujarku semangat sambil menikmati Jagung Bose buatan mama tua. Rasanya memang tiada duanya. Apalagi daging se’i, daging sapi yang diiris tipis-tipis dan diasap. Benar-benar mengingatkanku pada masakecil yang nyaris ingin kumusnahkan dari otakku.
* * *
Namaku Destri. Hanya Destri tanpa embel-embel. Aku terlahir dalam sebuah keluarga nelayan di pesisir Binongko, salah satu desa nelayan di kota Kalabahi, kepulauan Alor, duapuluhdelapan tahun yang lalu.
Aku perempuan pertama dari 3 bersaudari. Ayah dan mamaku adalah pendatang dari Makasar. Ayah lebih dulu tinggal di kota ini bersama orang tuanya dan hidup sebagai nelayan. Kadang-kadang juga berdagang ikan di pasar. Sewaktu-waktu juga ikut menjadi kuli harian di pelabuhan jika sedang tidak ingin melaut. Tak jarang juga keluar masuk toko sebagai pekerja kasar, toko yang di juragani oleh keturunan China yang datang dari berbagai pelosok nusantara. Kebanyakan China Surabaya yang memang sudah menyatu dengan alam Alor. Saat ini hampir seluruh pertokoan di Kalabahi ini dikuasai oleh pedagang keturunan itu.