Namun kehidupan perkawinannya kandas karena kurangnya komunikasi  di antara keduanya. Rasuna adalah seorang aktivis kemerdekaan. Ia sering mengajar di sekolah-sekolah Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Pasca kegagalan perkawinannya, Rasuna mengecam keras poligami. Padahal di masyarakat Minangkabau di masa lalu, kawin-cerai sudah biasa. Bagi Rasuna, poligami adalah pelecehan terhadap kaum wanita. Padahal menurut Islam, poligami bukan untuk melampiaskan nafsu seks.
 Rasuna juga pernah berkecimpung di dunia pers. Ia mendirikan Soenting Nagari, Raya, dan Menara Poeteri di Medan sebagai alat perjuangan perempuan. Ia terpengaruh salah-satu mentornya, Roehana Koeddoes.
Di Medan itu juga mendirikan sekolah keputrian. Dengan media ini, ia menegaskan visinya agar wanita Indonesia harus turut memikirkan nasib bangsa. Perempuan harus menggapai kemajuan. Agama seharusnya tidak menghambat kaum perempuan untuk berkiprah di segala sektor kehidupan.
Rasuna Said, sebagaimana dicatat oleh Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Volume 1 (2004) , adalah salah-satu anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP---KNIP) dan kemudian menjadi anggota parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik  Indonesia.
Jabatan politik terakhirnya adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ia meninggal di Jakarta, 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Pemerintah menetapkan Hajjah Rangkayo Rasuna Said sebagai pahlawan nasional pada 13 Desember 1974.
Islam dan Kaum Perempuan saat ini
Saat ini kaum perempuan Islam Indonesia terjebak pada ritualitas dan kesalehan individual. Ketiga Srikandi Minangkabau di atas adalah muslimah yang taat. Namun mereka menganggap Islam tidak merendahkan kaum perempuan.
Sebaliknya Islam menjadi ruh pergerakan kemerdekaan dan kemajuan kaum perempuan. Mereka menolak pandangan agama dan adat-istiadat yang kolot.
Sayangnya, di era milenial ini, Â muncul gerakan-gerakan Islam Salafi-Wahabi yang berusaha memenjarakan perempuan di balik jilbab dan cadar. Mereka menganggap hal itu sebagai Islam yang murni.
Kaum perempuan tidak diperbolehkan beraktivitas di ranah publik. Mereka diwajibkan tinggal di rumah. Gerakan ini seolah menjadikan wanita sebagai obyek seks suami mereka.
Hal ini adalah satu kemunduran bagi pergerakan perempuan Islam di Indonesia. Islam bahkan dinilai sebagai agama yang mengukung hak-hak dan kebebasan kaum perempuan. Hal ini disebabkan kaum wanita Islam di Indonesia saat ini tidak membaca sejarah pergerakan perempuan di negeri ini. Mereka berpikir kolot. Mereka menerima saja apa yang disampaikan para pemimpin mereka.
Usaha meng-Arab-kan diri sangat kelihatan pada gerakan-gerakan Islam tertentu di Indonesia. Seolah semakin "Arab" semakin Islami. Islam disamakan dengan budaya Arab. Banyak perempuan Muslimah yang berorientasi ke Timur Tengah dan tidak membaca sejarah pergerakan kaum perempuan di negerinya sendiri. Kaum perempuan terjerembak pada dunia patriarkis.