Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Intelektual Indonesia dan Perang Neokorteks

27 Oktober 2019   10:15 Diperbarui: 27 Oktober 2019   10:27 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini tidak hanya dilakukan secara intelektual, tapi juga secara budaya. Negara-negara Barat melakukan imperialisme kebudayaan. Militer AS bertugas untuk mengamankan "Amerikanisasi" negara-negara dunia ketiga dengan budaya pop Barat. 

Invasi kebudayaan ini dilakukan dengan halus. Dimulai sejak masuknya musik-musik Barat dari tahun 1960-an seperti The Beatles, The Doors, Led Zeppelin dan lain sebagainya. Sampai kemudian kemunculan MTV dan kini melalui internet.

Dengan menggunakan budaya pop (pop culture) negara-negara Barat hendak menguasai gaya hidup dan pola pikir generasi muda di negara-negara dunia ketiga. Bahkan bukan hanya negara-negara Barat, kini Korea dan Jepang mengekspor budaya pop-nya ke negara-negara dunia ketiga.

Namun dibalik demam K-Pop dan J-Pop bukannya tidak ada kepentingan. Negara-negara tersebut ingin menanamkan imej dalam benak generasi muda tentang kehebatan mereka. Dengan kemudian, kelak di kemudian hari, mereka menjadi konsumen yang loyal terhadap produk-produk Korea dan Jepang. Korea Selatan saat ini tengah berusaha melakukan penetrasi pasar terhadap konsumen Indonesia.

Intelektual atau calon intelektual Indonesia semestinya tidak menghamba kepada Barat. Mereka bisa mengambil ilmu dari Barat sebagai alat analisis, namun bukan ideologi. 

Ilmu-ilmu yang didapatkan dari Barat tersebut harus bisa "diindonesiakan" dalam arti bermanfaat bagi bangsa. Jangan menelan mentah-mentah teori-teori Barat, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kita harus mengadaptasinya dalam konteks keindonesiaan.

Coba lihat Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka jelas mempelajari ilmu-ilmu dari Barat, namun mereka mengkontekstualisasikannya dalam kondisi bangsa Indonesia. 

Mereka tidak memamah teori Barat mentah-mentah namun mengadaptasinya dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Mereka menganalisis kondisi obyektif bangsa Indonesia dan melakukan serangkaian perenungan dan penalaran.

Hal ini terasa penting bagi bangsa Indonesia. Kita merindukan intelektual berdedikasi yang di dalam Al-Qur'an disebut sebagai "Ar-Rosikhuna fil 'imi" yaitu mereka yang berpengetahuan luas dan mendalam. Mereka yang menyumbangkan ilmunya untuk bangsa Indonesia.

Perang Neokorteks dilakukan setelah perang secara fisik gagal dilaksanakan. Petualangan militer AS gagal di Vietnam dan menyusul di Irak dan Afghanistan. Mereka hendak membuka front baru namun dengan cara yang halus. 

Mereka berusaha merusak moral generasi muda dengan musik, film, makanan dan minuman, fashion, dan gaya hidup keamerikaan. Sebagian generasi muda lebih suka berbahasa Inggris campur Indonesia dan bahkan bahasa Indonesia mereka tidak bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun